Jumat, 15 Maret 2013

Mengungkap Rahasia Ajaran Syekh Siti Jenar


Hakekat Rukun Islam Menurut Syekh Siti Jenar
Selama ini, syahadat umumnya hanya dipahami sebagai bentuk mengucapkan kata “Asyhadu an la ilaha illa Allah, wa asyhadu anna Muhammad al-rasul Allah”. Dan karena hanya pengucapan, wajar jika tidak memiliki pengaruh apa-apa terhadap mental manusia. Siapapun dapat mengucapkannya, walau kebanyakkan tidak memahaminya. Padahal makna sesungguhnya bahwa syahadat adalah “kesaksian” bukan “pengucapan” kalimat yang menyatakan bahwa ia telah bersaksi.
Ketika kita mengucapkan kata “Allah”, maka kata ini harus hadir dan lahir dari keyakinan yang mendalam. Pada saat pengucapan, kita harus yakin bahwa Allah “ada” pada diri nabi-Nya, dan bahwa setiap diri kita mampu membawa peran nabi tersebut. Dalam ma’rifat, nabi dan kenabian sebagai suatu hal yang selalu hidup. Dan ketika person nabi terakhir diberi label “Muhammad”, maka ia adalah langsung dari nur dan ruh Muhammad, dan menyandang nama spiritual sebagai “Ahmad”. Dan ketika kata “Ahmad” disebutkan, Nabi Muhammad sering mengemukakan bahwa “ana Ahmad bila mim” (aku adalah Ahmad yang tanpa mim), yakni “Ahad”. Ketika suku bangsa dzahir “arab” disebutkan, beliau sering mengemukakan “ana ‘arabun bila “Ain”, (aku adalah “Arab tanpa ‘Ain), yakni “Rabb”. Inilah kesaksian itu, atau syahadat.
Kalau kita membayangkan nabi secara fisikal maka kita akan menghayalkan tentang nabi. Nah, pada saat Allah kita rasakan hadir atau bersemayam dalam diri Nabi yang berada di kedalaman lubuk hati kita, maka terlepaslah ucapan “Muhammad al-Rasul Allah” sebagai kesaksian. Lalu kesaksian ini kita lepaskan ke dalamDzat Allah. Sehingga kemudian tercipta apa yang disebut sebagai “Tunggal ing Allah hiya kang amuji hiya kang pimuji”, kemanunggalan dengan Allah sehingga baik yang memuji dan yang dipuji tidak dapat dipisahkan.
Pada konteks syahadat yang seperti itulah kemudian lahir ajaran tentang “wirid sasahidan” dari Syekh Siti Jenar, dalam bentuk pengucapan hati sebagai berikut (Sholikhin: 2004, 182-183)
Artinya:
Aku bersaksi di hadapan Dzat-ku sendiri
Sesungguhnya tiada tuhan selain Aku
Aku bersaksi sesungguhnya Muhammad itu utusan-Ku
Sesungguhnya yang disebut Allah itu badan-Ku
Rasul itu rasa-Ku
Muhammad itu cahaya-Ku
Akulah yang hidup tidak terkena kematian
Akulah yang senantiasa ingat tanpa tersentuh lupa
Akulah yang kekal tanpa terkena perubahan di segala keadaan
Akulah yang selalu mengawasi dan tidak ada sesuatupun yang luput dari pengawasan-Ku
Akulah yang maha kuasa, yang bijaksana, tiada kekurangan dalam pengertian
Byar
Sempurna terang benderang
Tidak terasa apa-apa
Tidak kelihatan apa-apa
Hanya aku yang meliputi seluruh alam
Dengan kodrat-Ku
Sebagaimana telah dikemukakan, bahwa kesaksian tersebut diperoleh berdasarkan lelaku. Maka setelah lahirnya kesaksian tersebut juga harus disertai dengan lelaku pula. Yaitu diikuti dengan semedi atau dzikir rasa sehingga kemudian dapat mengalami mati dalam hidup dan hidup dalam mati. Dzikir seperti ini dilakukan dengan meng-heneng-kan diri dan mengheningkan cipta serta karsa sehingga kembali tercipta kesatuan hati, pikiran dan rasa hidup. Hal ini dilakukan dengan menyatukan pancaindera, memejamkan mata dan mengarahkannya ke pucuk hidung (pucuking ghrana), sambil menyatukan denyut jantung, harus diatur pula pernapasan yang masuk dan keluar jangan sampai tumpang tindih.
Biasanya praktik sasahidan ini akan berujung pada bercampurnya rasa hati dan hilangnya segenap perasaan. Kalau sudah mencapai kondisi ini, maka harus diturunkan ke dalam jiwa dan menyebar ke seluruh sel-sel dan syaraf tubuh. Sehingga akan tercapailah ketiadaan rasa apapun dan akan memunculkan sikap ke-waskitha-an (eling lan waspadha).
Dengan demikian wajar jika pada kesimpulannya tentang makna syahadat, Syekh Siti Jenar memberikan makna syahadat sebagai etos gerak, etos kerja yang positif, progresif, dan aktif. Syekh siti jenar mengemukakan bahwa syahadat tauhid dan syahadat rasul mengandung makna jatuhnya rasa (menjadi etos), kesejatian rasa (unsur motorik), bertemunya rasa (ide aktif dan kreatif), hasil karya yang maujud serta dampak terhadap kesejatian kehidupan (Sholikhin: 2004, 187). Itulah makna syahadat yang sesungguhnya dari sang insan kamil.
Hakekat Rukun Islam Menurut Syekh Siti Jenar
2. Sholat
“Peliharalah shalatmu dan shalat wustha. Berdirilah untuk Allah (dalam shalat) yang khusyuk” (QS Al. Baqarah/ 2:238). Ini adalah penegasan dari Allah tentang kewajiban dan keharusan memelihara shalat, baik segi dzahir maupun batin dengan titik tekan “khusyuk”, kondisi batin yang mantap.
Secara lahir, shalat dilakukan dengan berdiri, membaca Al-Fatihah, sujud, duduk dsb. Kesemuanya melibatkan keseluruhan anggota badan. Inilah shalat jasmani dan fisikal. Karena semua gerakan badan berlaku dalam semua shalat, maka dalam ayat tersebut disebut shalawaati (segala shalat) yang berarti jamak. Dan ini menjadi bagian pertama, yakni bagian lahiriah.
Bagian kedua adalah tentang shalat wustha, yaitu yang secara sufistik adalah shalat hati. Wustha dapat diartikan pertengahan atau tengah-tengah. Karena hati terletak di tengah, yakni di tengah “diri”, maka dikatakan shalat wustha sebagai shalat hati. Tujuan shalat ini adalah untuk mendapatkan kedamaian dan ketentraman hati. Hati terletak di tengah-tengah, antara kiri dan kanan, antara depan dan belakang, atas dan bawah, serta antara baik dan jahat. Hati menjadi titik tengah, poin pertimbangan. Hati juga diibaratkan berada diantara dua jari Allah, dimana Allah membolak-balikkannya ke mana saja yang ia kehendaki. Maksud dari dua jari Allah adalah dua sifat Allah, yaitu sifat Yang Menghukum dan Meng-adzab dengan sifat Yang Indah, Yang Kasih Sayang, dan Yang Lemah Lembut.
Sholat dan ibadah yang sebenarnya adalah sholat serta ibadahnya hati, kondisi khusyu’ menghadapi kehidupan. Bila hati lalai dan tidak khusyuk, maka jasmaniahnya akan berantakan. Sehingga kalau ini terjadi, kedamaian yang didambakan akan hancur pula. Apalagi shalat jasmani hanya bisa dicapai dengan hati yang khusyuk. Kalau hati tidak khusyuk, serta tidak dapat konsentrasi pada arah yang dituju dari shalat, maka hal itu tidak bisa disebut shalat. Juga tidak akan dapat dipahami apa yang diucapkan, dan tentu apa pun yang dilakukan dengan bacaan dan gerakannya tidakakan bisa mengantarkan sampai kepada Allah.
Urgensi ke-khusyuk-an ini berhubungan dengan inti shalat sebagai doa. Doa atau munajat, bukan sekedar permintaan hamba kepada Allah, akan tetapi berarti juga sebagai arena pertemuan. Dan tempat pertemuan itu adalah di dalam hati. Maka jika hati tertutup di dalam shalat, tidak peduli akan makna shalat rohani, shalat yang dilakukan tersebut tidak akan memberikan manfaat apa pun. Sebab semua yang dilakukan jasmaninya sangat tergantung kepada hati sebagai Dzat untuk badan. “Ingatlah bahwa dalam tubuh itu ada sekeping daging, apabila daging itu baik, baiklah seluruh tubuh itu. Dan apabila ia rusak, rusak pulalah semua tubuh itu. Daging itu adalah hati. “ (sabda Rasulullah)
Ke-khusyuk-an hati akan membawa sholat yang menghasilkan kesehatan hati. Shalat khusyuk akan menjadi obat bagi hati yang rusak dan jahat serta berpenyakit. Maka shalat yang baik haruslah dengan hati yang sehat dan baik pula, bukan dengan hati yang rusak, yakni hati yang tidak dapat hadir kepada Allah.
Jika shalat dari sisi jasmaniah-fisik memiliki keterbatasan dalam semua hal, baik tempat, waktu, kesucian badan, pakaian, dsb, maka shalat dari segi rohaniah tidak terbatas dan tidak dilaksanakan pada waktu-waktu tertentu. Shalat secara rohaniah tidak terikat oleh ruang dan waktu. Shalat ini selalu dilakukan terus menerus sejak di dunia hingga akhirat. Masjid untuk shalat rohani terletak dalam hati. Jamaahnya terdiri dari anggota-anggota batin atau daya-daya rohaniah yang ber-dzikir dan membaca al-asma’ al-husna dalam bahasa alam rohaniah. Imam dalam shalat rohani adalah kemauan atau keinginan (niat) yang kuat. Dan kiblatnya adalah Allah. Inilah shalat tarek dan sholat daim yang diajarkan oleh Syekh Siti Jenar.
Shalat yang demikian itu hanya dapat dilakukan oleh hati yang ikhlas, hati yang tidak tidur, dan hati yang tidak mati. Hati dan jiwa seperti itu kekal dan selalu beribadah atau shalat ketika jasmaninya sedang tertidur atau terjaga. Ibadah hati dilakukan sepanjang hayat, dan sepanjang hayatnya adalah untuk beribadah.
Inilah ibadah orang yang sudah mencapai ma’rifatullah, tempat penyucian tertinggi. Di tempat itu, ia ada tanpa dirinya. Karena dirinya telah fana’, telah hilang lenyap. Ingatannya yang teguh dan suci tercurah hanya kepada Allah.
Namun tentu saja ini berlaku setelah semua shalat-shalat fardhu dan nawafil dilaksanakan secara konsisten. Jadi, tempat suci tersebut baru bisa dijangkau setelah semua shalat syari’at itu sempurna, lalu masuk ke dalam shalat thariqat dan ma’rifat. Maka tidak bisa diartikan bahwa jika sudah berada di tingkatan ini, lalu tidak lagi melakukan shalat sama sekali. Bahkan sering dalam shalat itulah mereka mengalami fana’ dalam munajat-nya sehingga ibadah yang dilakukannya itu menyita banyak waktu. Hanya saja bentuk shalat dalam arti gerakan dan bacaan tertentu sudah tidak mengikat lagi. Shalat ditegakkan atas kemerdekaan rohani dalam menempuh laku menuju Allah.
Pada tingkatan ini tidak ada lagi bacaan di mulut. Tidak ada lagi gerakan berdiri, ruku’, sujud, dsb. Dia telah berbincang dengan Allah sebagaimana firman-Nya “Hanya Engkau yang kami sembah, dan hanya Engkaulah kami memohon pertolongan” (QS Al-Fatihah/1: 5)
Firman tersebut menunjukkan betapa tingginya kesadaran insan kamil, yakni mereka yang telah melalui beberapa tingkatan alam rasa dan pengalaman rohani sehingga tenggelam dalam lautan tauhid atau Ke-Esaan Allah dan ber”padu” dengan-Nya. Nikmat yang mereka rasakan saat itu tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata. Hanya orang yang mengalaminya yang dapat mengalaminya yang dapat mengartikan kenikmatan tersebut. Namun mereka pun sering tidak mau mengungkapkannya. Tidak ingin membocorkan rahasia Ketuhanan yang tersimpan di dalam lubuk hatinya oleh Allah.
Hal tersebut sama halnya dengan hakikat takbir, yang bukan semata-mata ucapan “Allahu Akbar”. Takbir merupakan pengucapan yang lahir dari firman Allah yang memuji kebesaran Dzat-Nya. Jadi, takbir sebenarnya merupakan suara Tuhan yang meminjam mulut hamba-Nya. Bukan hasil dari dorongan emosional. Karenanya, takbir sejati adalah menyatakan kebesaran Allah dari af’al Allah sendiri. Takbir sejati merupakan penghayatan diri terhadap sifat Allah. Dan takbir sejati adalah penyebutan nama-Nya yang lahir dari kehendak-Nya semata. Dengan takbir yang demikian itu maka yang lain menjadi sangat kecil, dan menjadi tidak ada. Yang ada hanya Allah. Ke mana pun kita menghadap yang ada hanya Wajah Allah.
Maka setelah berpadu ibadah lahir dan batin secara harmonis, sempurnalah ibadah seseorang. Hati dan ruh seperti tergambar itu membawanya masuk ke Hadirat Allah. Hatinya ber”padu” mesra dengan Allah. Dalam alam nyata ia menjadi hamba yang wara’ dan ‘alim. Dalam alam rohani ia menjadi ahli ma’rifah yang telah sampai pada peringkat kesempurnaan mengenal Allah. Inilah makna bahwa shalat adalah perjalanan menuju Allah. Hasilnya adalah bahwa shalat yang dilaksanakan mencegah perilaku yang keji dan munkar. Sebaliknya menghasilkankehalusan dan kemuliaan budi dan perilaku.
Jika shalat telah dihilangkan makna hakikatnya, hanya menjadi sekedar pelaksanaan hukum fikih sebagaimana tampak pada kebanyakan manusia dewasa ini, maka shalat tersebut telah kehilangan makna fungsionalnya. Hal inilah yang telah mendatangkan kritik tajam dari Syekh Siti Jenar.
Syahadat, sholat, puasa semua tanpa makna
Termasuk zakat dan haji ke Mekah
Itu semua telah menjadi palsu
Tidak bisa dijadikan anutan
Hanya menghasilkan kerusakan di bumi
Membohongi makhluk lain
Hanya ingin surga kelak
Orang bodoh mengikuti para wali
Sementara kenyataannya sama saja belum mencapai tahapan hening
Syekh Siti Jenar mengkritik pelaksanaan hukum fikih pada masa walisanga karena ibadah-ibadah formal tersebut telah kehilangan makna dan tujuan, kehilangan arti, dan hikmah kehidupan. Hal itu menjadikan semua ajaran agama yang diajarkan oleh para ulama ketika itu menjadi kebohongan yang meninabobokkan publik dengan hanya menginginkan surga kelak yang belum ada kenyataanya.
Oleh karenanya Syekh Siti Jenar mengajarkan praktik shalat fungsional, berbeda dengan para wali pada masanya. Shalat tarek sebagai bentuk ketaatan syari’at, dan shalat daim sebagai shalat yang tertanam dalam jiwa, dan mewarnai seluruh pekerti kehidupan. Seseorang yang melaksanakan pekerjaan profesionalnya secara benar, disiplin, ikhlas, dan karena melaksanakan fungsi lillahi ta’ala, maka orang tersebut disebut melaksanakan shalat. Itulah bagian dari shalat da’im.
Namun ternyata, ajaran shalat fungsional tersebut tidak hanya menjadi milik Syekh Siti Jenar. Di dalam Suluk Wujil bait 12-13, sebuah naskah yang ditulis pada awal abad ke-17, yang disebut-sebut sebagai warisan ajaran Sunan Bonang, menyebutkan ajaran shalat sebagai berikut:
Unggulnya diri itu mengetahui hakikat shalat, sembah dan pujian. Shalat yang sebenarnya bukan mengerjakan shalat Isya dan maghrib. Itu namanya sembahyang. Apabila itu disebut shalat, maka hanyalah hiasan dari shalat daim. Hanyalah tata krama . manakah yang disebut shalat yang sesungguhnya itu? Janganlah menyembah jikalau tidak mengetahui siapa yang disembah. Akibatnya dikalahkan oleh martabat hidupmu. Jika didunia ini engkau tidak mengetahui siapa yang disembah, maka engkau seperti menyumpit burung. Pelurunya hanya disebarkan, tapi burungnya tak ada yang terkena tembakan. Akibatnya cuma menyembah ketiadaan, suatu sesembahan yang sia-sia.
Maka jelaslah bahwa shalat lima waktu yang hanya dilakukan berdasarkan ukuran formalitas, hanya sebentuk tata krama, aturan keberagamaan. Sementara shalat daim yang merupakan shalat yang sebenarnya. Yakni, kesadaran total akan kehadiran dan keberadaan Hyang Maha Agung di dalam dirinya, dan dia merasakan dirinya sirna. Sehingga semua tingkah lakunya adalah shalat. Diam, bicara, dan semua gerak tubuhnya merupakan shalat. Wudhu, membuang air besar, makan dan sebagainya adalah tindakan sembahyang. Inilah hakikat dari niat sejati dan pujian yang tiada putus. Ya, shalat yang mampu membawa pelakunya untuk menebar kekejian dan ke-mungkar-an. Mampu menghadirkan rahmatan lil ‘alamin.

Ketauhidan Syekh Siti Jenar

SEMBILAN
“Sesungguhnyalah, Lapal Allah yaitu kesaksian akan Allah, yang tanpa rupa dan tiada tampak, membingungkan orang, karena diragukan kebenarannya. Dia tidak mengetahui akan diri pribadinya yang sejati, sehingga ia menjadi bingung. Sesungguhnya nama Allah itu untuk menyebut wakil-Nya, diucapkan untuk menyatakan yang dipuja dan menyatakan suatu janji. Nama itu ditumbuhkan menjadi kalimat yang diucapkan: “Muhammad Rasulullah”. Padahal sifat kafir berwatak jisim, yang akan membusuk, hancur lebur bercampur tanah.” “Lain jika kita sejiwa dengan Zat Yang Maha Luhur. Ia gagah berani, naha sakti dalam syarak, menjelajahi alam semesta. Dia itu Pangeran saya, yang menguasai dan memerintah saya, yang bersifat wahdaniyah, artinya menyatukan diri dengan ciptaan-Nya. Ia dapat abadi mengembara melebihi peluru atau anak sumpitan, bukan budi bukan nyawa, bukan hidup tanpa asal dari manapun, bukan pula kehendak tanpa tujuan.” “Dia itu yang bersatu padu menjadi wujud saya. Tiada susah payah, kodrat dan kehendak-Nya, pergi ke mana saja tiada haus, tiada lelah tanpa penderitaan dan tiada lapar. Kekuasan-Nya dan kemampuan-Nya tiada kenal rintangan, sehingga pikiran keras dari keinginan luluh tiada berdaya. Maka timbullah dari jiwa raga saya kearif-bijaksanaan tanpa saya ketahui keluar dan masuk-Nya, tahu-tahu saya menjumpai Ia sudah ada disana”. (Serat Syaikh Siti Jenar Ki Sastrawijaya, Pupuh III Dandanggula, 45-48).
Pernyataan di atas adalah tafsir sederhana dari sasahidan yang menjadi intisari ajaran Syekh Siti Jenar, dan landasan mistik teologi kemanunggalan. Kalimah syahadat yang hanya diucapkan dengan lisan dan hanya dihiasi dengan perangkat kerja fisik (pelaksanaan fiqih Islam dengan tanpa aplikasi spiritual), hakikatnya adalah kebohongan. Pelaksanaan aspek fisik keagamaan yang tidak disertai dengan implikasi kemanunggalan roh, sebenarnya jiwa orang itu mencuri, yakni mencuri dari perhatiannya kepada aspek Allah dalam diri. Itulah sebenar-benarnya munafik dalam tinjauan batin, dan fasik dalam kacamata lahir. Sebab manusia sebagai khalifah-Nya adalah cermin Ilahiyah yang harus menampak kepada seluruh alam. Sebagai alatnya adalah kemanunggalan wujudiyah sebagaimana terdapat dalam Sasahidan. Terdapat kesatupaduan antara Allah, Rasul dan manusia. Masing-masing bukanlah sesuatu yang saling asing mengasingkan.
SEPULUH.
“Rahasia kesadaran kesejatian kehidupan, ya ingsun ini kesejatian hidup, engkau sejatinnya Allah, ya ingsun sejatinya Allah; yakni wujud (yang berbentuk) itu sejatinya Allah, sir (rahsa=rahasia) itu Rasulullah, lisan (pangucap) itu Allah, jasad Allah badan putih tanpa darah, sir Allah, rasa Allah, rahasia kesejatian Allah, ya ingsun (aku) ini sejatinya Allah.” (Wejangan Walisanga: hlm. 5).
Subtansi dari ungkapan spiritual tersebut adalah bahwa kesejatian hidup, rahasia kehidupan hanya ada pada pengalaman kemanunggalan antara kawula-Gusti. Dan dalam tataran atau ukuran orang ‘awam hal itu bisa diraih dengan memperhatikan uraian dan wejangan Syekh Siti Jenar tentang “Shalat Tarek Limang Waktu”.
Hakekat Rukun Islam Menurut Syekh Siti Jenar
4.Zakat
Syekh Siti Jenar memberikan makna aplikatif zakat sebagai sikap menolong orang lain dari penderitaan dan kekurangan. Menolong orang lain agar dapat hidup, menikmati hidup, sekaligus mampu bereksis menjalani kehidupan. Syekh Siti Jenar sendiri bertani yang merupakan pekerjaan favorit pada masa hidupnya. Namun tidak semua masyarakat petani berhasil hidupnya sebagaimana pula tidak selalu berhasil baik dari panennya. Yang tidak berhasil panennya tentu mengalami kekurangan bahkan kelaparan. Syekh Siti Jenar selalu membantu mereka yang kurang berhasil tadi dengan memberikan sebagian hasil panennya dari tanahnya yang luas kepada mereka itu. Inilah yang disebut sebagai zakat secara fungsional.
Suka memberi adalah sifat-Nya, dan Dia senang melihat hamba-Nya mencontoh sifat suka memberi yang menjadi sifat-Nya itu. Perbendaharaan Tuhan tidak akan kosong, dan bila Allah memberi Dia akan memberi dengan tangan-Nya yang terbuka. “Barang siapa yang datang membawa amal yang baik, maka ia akan mendapat pahala sebanyak sepuluh kali lipat dari kita, dan barangsiapa yang datang membawa perbuatan yang jahat, dia tidak mendapatkan pembalasannya, melainkan yang seimbang dengan kejahatannya, sedangkan mereka sedikit pun tidak dianiaya.” (QS Al-An’am/6: 160)
Sebagaimana makna katanya, zakat memiliki kegunaan sebagai arena pembersihan harta dan jiwa. Terutama membersihkan dari keegoan, sehingga tujuan zakat rohani menjadi tercapai. “Siapakah yang mau meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik maka Allah akan melipatgandakan balasan pinjaman itu untuknya, dia akan mendapatkan pahala yang banyak”.(QS Al Hadid/57:11). Inilah hakikat pahala zakat, baik jasmani maupun rohani.
Sehingga terhadap harta pinjaman dan titipan dari Allah, kita melakukan penyucian diri dengan mengeluarkan zakat, bersedekah, serta berbuat amal jariyah. Dalam hal inilah, patokan kita bukan sekedar patokan minimal 2,5%, namun bisa lebih dari itu. Bahkan para sufi terkadang berzakat 100% dari seluruh harta yang diterimanya. Selain ia membersihkan dari daki-daki dunia, ia juga memanjangkan umur dan menyelamatkan diri dari siksa sengsara akhirat. Betapa beruntungnya para pemilik harta yang menyedekahkan hartanya sehingga ia mendapatkan ganjaran yang tidak dapat ditebus dengan uang nantinya. “Mereka yang menyedekahkan hartanya kepada orang lain, hartanya tidak akan berkurang. Bahkan, harta itu akan bertambah, dan bertambah.” (Sabda Nabi).
Jadi, pemahaman sufi atas harta jelas. Harta dan semua yang ada adalah milik Tuhan. Manusia diberi limpahan-Nya agar digunakan sebagai alat bagi perjalanan rohaninya menuju Tuhan. “Kamu tidak akan sampai kepada ketaatan yang sempurna sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan itu, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya.” (QS Ali Imran/3:92). Zakat bagi para sufi merupakan langkah untuk memberikan “kado” atau hadiah terindah untuk Tuhan, sekaligus untuk manusia dengan disertai kebersihan niat jiwa, dan kesucian hati. Tegasnya, sebagaimana dikemukakan Syekh Siti Jenar, zakat adalah kesediaan untuk menolong manusia yang kekurangan, baik harta fisik maupun harta rohani sehingga mereka terhindar dari kemiskinan, kekurangan, kelaparan fisik maupun spiritual. Betapa indahnya dunia jika dihuni manusia sufi seperti ini.
5.Haji
Haji menurut Islam-Jawa yang sebagian merupakan warisan ajaran Syekh Siti Jenar tidak lain adalah olah spiritual. Karena kalau hanya sekedar mengunjungi Makkah dalam arti fisik, bagi orang Islam-Jawa itu cukup dengan “ngeraga sukma”. Dalam arti seseorang mampu pergi ke Makkah kapan saja dia mau. Oleh karenanya, bagi mereka, Makkah letaknya bukanlah sebatas geografis, yakni terletak di Dataran Arab Saudi. Bagi Muslim-Jawa, Makkah berada di dalam spirit manusia yang tidak ditempuh dengan hanya menggunakan bekal rupiah. Hal ini dapat ditinjau dari ungkapan dalam Suluk Wijil:
Artinya:
Maulana Maghribi berkata demikian,” Baiklah engkau kembali, yang engkau cari tidak ada di Makkah. Makkah yang terletak di barat(Nusa Jawa) itu, Makkah tiruan namanya. Batu yang dibuat sebagai tempat menghadap adalah buatan Nabi Ibrahim. Jika Nusa Jawa engkau tinggalkan, akan menjadi kafir// Tak ada yang tahu dimana Makkah yang sebenarnya. Meski ia harus berjalan dari kecil hingga tua. Tak akan mencapai tujuan. Jika ada bekal sampai di Makkah dan menjadi Wali, maka bekalnya sangat mahal, sukar diperoleh. Bukan rupiah maupun dinar bekal tersebut. Tapi keberanian, kesanggupan mati, dan sabar serta ikhlas di dunia).
Dari penuturan suluk wujil tersebut, jelas bahwa haji adalah olah spiritual untuk mencapai keyakinan hidup yang hak, yaitu berani dan sanggup mati dalam kebenaran, serta sabar dan ikhlas dalam hidup di dunia. Dimana ruh masih terpenjara dalam wadaq ini. Hidup ikhlas adalah hidup tidak terkontaminasi nafsu berebut kuasa, harta, kelezatan hidup di dunia (Chodjim, 2002,209). Maka keikhlasan menjalani hidup menjadi tujuan dari haji. Untuk dapat ikhlas perlu laku atau olah spiritual.
Untuk mampu memperoleh laku yang benar, juga diperlukan keberanian dan kesanggupan memilih jalan yang diyakini benar. Sebagiannya adalah keberanian dan kesanggupan untuk hidup bersahaja dan bersih dari segala perbuatan yang tercela dan mungkar. Hati terbebas dari segala iri, dengki, dendam, kesumat, kikir dan tamak. Pikiran bersih dari keterikatan dengan kelezatan dunia. Rohani dimerdekakan, dan keberagamaan tidak terbelenggu oleh sekedar formalitas. Dan untuk itu semua dibutuhkan kesabaran, memiliki daya juang, dan tidak mudah menyerah dalam upaya mencapai tujuan. Tegar dan kokoh dalam perjuangan hidup yang benar, dan kemauan mempertahankan keyakinan atas kebenaran itu.
Di balik kesabaran itu, juga tersembul kemauan menjaga harmonisme segala hal di dunia ini. Tidak egois, tidak mau menang sendiri, tidak menyerobot hak orang lain. tidak mempermainkan kekuasaan, tidak melanggar hak-hak orang lain. ia selalu memperjuangkan hak hidup dengan tanpa mengorbankan hak orang lain. ia memperjuangkan haknya sekaligus hak orang lain.
Muslim Jawa dalam beragama tidak hanya terikat pada simbol. Sehingga termasuk Ka’bah misalnya, yang berada di Makkah hanya disebut sebagai tiruan yang dibuat manusia. Ka’bah yang sesungguhnya tidak diketahui letaknya karena berada di alam spiritual. Ka’bah diri berada di kedalaman ceruk hati. Oleh karenanya kebenaran dan kejujuran tidak harus diburu di Makkah, justru di Jawa juga menyediakan banyak ajaran spiritual yang jika ditinggalkan untuk memburu di Makkah, malah membuat orang Jawa akan menjadi kafir. Yakni akan kehilangan kebijaksanaan tradisional dan spiritualitas yang genuine dari kedalaman dirinya sendiri. Untuk menciptakan kesejahteraan, ketentraman, dan untuk mampu mendekati Tuhan, ternyata memang seharusnya tidak boleh meninggalkan kebijaksanaan yang berakar pada tradisi ritual dari bangsa lain. Allah menyediakan semua tempat dengan ragam hikmah (wisdom)-nya masing-masing. Untuk itulah konsep keberbedaan harus disatukan dalam kerangka lita’aruf (saling mengenal). Mereka yang mampu mengenal hikmah yang beragam itu disebut Allah sebagai mereka yang paling sanggup mencapai ketakwaan.
Wallahualam.
http://vilaputih.wordpress.com
      
“Jalan Sunan Kalijogo Mencari Guru Sejati”

Di antara para wali yang lain, Kanjeng Sunan Kalijaga bisa dikatakan satu-satunya wali yang menggunakan pendekatan yang pas yaitu budaya Jawa. Dia sadar, tidak mungkin menggunakan budaya lain untuk menyampaikan ajaran ‘sangkan paraning dumadi’ secara tepat.
Budaya arab tidak cocok diterapkan di Jawa karena manusia Jawa sudah hidup sekian ratus tahun dengan budayanya yang sudah mendarah daging. Bahkan, setelah “dilantik” menjadi wali, dia mengganti jubahnya dengan pakaian Jawa memakai ‘blangkon atau udeng’.
Nama mudanya Raden Syahid, putra adipati Tuban yaitu Tumenggung Wilatikta dan Dewi Nawangrum. Kadpiaten Tuban sebagaimana Kadipaten yang lain harus tunduk di bawah kekuasaan Kerajaan Majapahit. Nama lain Tumenggung Wilatikta adalah Ario Tejo IV, keturunan Ario Tejo III, II dan I. Arti Tejo I adalah putra Ario Adikoro atau Ronggolawe, salah seorang pendiri Kerajaan Majapahit. Jadi bila ditarik dari silsilah ini, Raden Syahid sebenarnya adalah anak turun pendiri kerajaan Majapahit.
Raden Syahid lahir di Tuban saat Majapahit mengalami kemunduran karena kebijakan yang salah kaprah, pajak dan upeti dari masing-masing kadipaten yang harus disetor ke Kerajaan Majapahit sangat besar sehingga membuat miskin rakyat jelata. Suatu ketika, Tuban dilanda kemarau panjang, rakyat hidup semakin sengsara hingga suatu hari Raden Syahid bertanya ke ayahnya: “Bapa, kenapa rakyat kadipaten Tuban semakin sengsara ini dibuat lebih menderita oleh Majapahit?”. Sang ayah tentu saja diam sambil membenarkan pertanyaan anaknya yang kritis ini.
Raden Syahid yang melihat nasib rakyatnya merana, terpanggil untuk berjuang dengan caranya sendiri. Cara yang khas anak muda yang penuh semangat juang namun belum diakui eksistensinya; menjadi “Maling Cluring”, yaitu pencuri yang baik karena hasil curiannya dibagi-bagikan kepada orang-orang miskin yang menderita. Tidak hanya mencuri, melainkan juga merampok orang-orang kaya dan kaum bangsawan yang hidupnya berkecukupan.
Suatu ketika, perbuatan mulia namun tidak lazim itu diketahui oleh sang ayah dan sang ayah tanpa ampun mengusir Raden Syahid karena dianggap mencoreng moreng kehormatan keluarga adipati. Pengusiran tidak hanya dilakukan sekali namun beberapa kali. Saat diusir Raden Syahid kembali melakukan perampokan namun sialnya dia tertangkap pengawal kadipaten hingga sang ayah kehabisan akal sehat.
“Syahid anakku, kini sudah waktunya kamu memilih, kau yang suka merampok itu pergi dari wilayah Tuban atau kau harus tewas di tangan anak buahku”. Syahid tahu dia saat itu harus benar-benar pergi dari wilayah Tuban dan akhirnya, dia pun dengan hati gundah pergi tanpa arah tujuan yang jelas. Suatu hari dalam perjalanannya di hutan Jati Wangi, dia bertemu lelaki tua yang kemudian memperkenalkan dirinya sebagai Sunan Bonang. Sunan Bonang adalah putra dan murid Sunan Ampel yang berkedudukan di Bonang, dekat Tuban.
Syahid yang ingin merampok Sunan Bonang akhirnya harus bertekuk lutut dan Syahid akhirnya berguru pada Sunan Bonang. Oleh Bonang yang saat itu sudah jadi guru spiritual ini, Syahid diminta duduk diam bersila di pinggir sungai. Posisi duduk diam meneng ini di kalangan para yogi dikenal dengan posisi meditasi. Syahid saat itu telah bertekad untuk mengubah orientasi hidupnya secara total seratus delapan puluh derajat. Yang awalnya dia berjuang dalam bentuk fisik, menjadi perjuangan dalam bentuk batin (metafisik). Dia telah meninggalkan syariat masuk ke ruang hakekat untuk mereguk nikmatnya makrifat. Namun syarat yang diajarkan Sunan Bonang cuma satu: duduk, diam, meneng, mengalahkan diri/ego dan patuh pada sang guru sejati (kesadaran ruh). Untuk menghidupkan kesadaran guru sejati (ruh) yang sekian lama terkubur dan tertimbun nafsu dan ego ini, Bonang menguji tekad Raden Syahid dengan menyuruhnya untuk diam di pinggir kali.
Ya, perintahnya hanya diminta untuk diam tok, tidak diminta untuk dzikir atau ritual apapun. Cukup diam atau meneng di tempat. Dia tidak diminta memikirkan tentang Tuhan, atau Dzat Yang Adikodrati yang menguasai alam semesta. Tidak, Sunan Bonang hanya meminta agar sang murid untuk patuh, yaitu DIAM, MENENG, HENING, PASRAH, SUMARAH, SUMELEH. Awalnya, orang diam pikirannya kemana-mana. Namun sekian waktu diam di tempat, akal dan keinginannya akhirnya melemas dan akhirnya benar-benar tidak memiliki daya lagi untuk berpikir, energi keinginan duniawinya lepas landas dan lenyap. Raden Syahir mengalami suwung total, fana total karena telah hilang sang diri/ego.
“BADANKU BADAN ROKHANI, KANG SIFAT LANGGENG WASESA, KANG SUKSMA PURBA WASESA, KUMEBUL TANPA GENI, WANGI TANPA GANDA, AKU SAJATINE ROH SAKALIR, TEKA NEMBAH, LUNGO NEMBAH, WONG SAKETI PADA MATI, WONG SALEKSA PADA WUTA, WONG SEWU PADA TURU, AMONG AKU ORA TURU, PINANGERAN YITNA KABEH….”
Demikian gambaran kesadaran ruh Raden Syahid kala itu. Berapa lama Raden Syahid diam di pinggir sungai? Tidak ada catatan sejarah yang pasti. Namun dalam salah satu hikayat dipaparkan bahwa sang sunan bertapa hingga rerumputan menutupi tubuhnya selama lima tahu. Setelah dianggap selesai mengalami penyucian diri dengan bangunnya kesadaran ruh, Sunan Bonang menggembleng muridnya dengan kawruh ilmu-ilmu agama. Dianjurkan juga oleh Bonang agar Raden Syahid berguru ke para wali yang sepuh yaitu Sunan Ampel di Surabaya dan Sunan Giri di Gresik. Raden Syahid yang kemudian disebut Sunan Kalijaga ini menggantikan Syekh Subakir gigih berdakwah hingga Semenanjung Malaya hingga Thailand sehingga dia juga diberi gelar Syekh Malaya.
“KESADARAN INSAN KAMIL”
Malaya berasal dari kata ma-laya yang artinya mematikan diri. Jadi orang yang telah mengalami “mati sajroning urip” atau orang yang telah berhasil mematikan diri/ego hingga mampu menghidupkan diri-sejati yang merupakan guru sejati-NYA. Sebab tanpa berhasil mematikan diri, manusia hanya hidup di dunia fatamorgana, dunia apus-apus, dunia kulit. Dia tidak mampu untuk masuk ke dunia isi, dan menyelam di lautan hakikat dan sampai di palung makrifatullah.
Salah satu ajaran Sunan Kalijaga yang didapat dari guru spiritualnya, Sunan Bonang, adalah ajaran hakikat shalat sebagaimana yang ada di dalam SULUK WUJIL: UTAMANING SARIRA PUNIKI, ANGRAWUHANA JATINING SALAT, SEMBAH LAWAN PUJINE, JATINING SALAT IKU, DUDU NGISA TUWIN MAGERIB, SEMBAH ARANEKA, WENANGE PUNIKU, LAMUN ARANANA SALAT, PAN MINANGKA KEKEMBANGING SALAM DAIM, INGARAN TATA KRAMA. (Unggulnya diri itu mengetahui HAKIKAT SALAT, sembah dan pujian. Salat yang sesungguhnya bukanlah mengerjakan salat Isya atau maghrib. Itu namanya sembahyang. Apabila disebut salat, maka itu hanya hiasan dari SALAT DAIM, hanya tata krama).
Di sini, kita tahu bahwa salat sejati adalah tidak hanya mengerjakan sembah raga atau tataran syariat mengerjakan sholat lima waktu. Salat sejati adalah SALAT DAIM, yaitu bersatunya semua indera dan tubuh kita untuk selalu memuji-Nya dengan kalimat penyaksian bahwa yang suci di dunia ini hanya Tuhan: HU-ALLAH, DIA ALLAH. Hu saat menarik nafas dan Allah saat mengeluarkan nafas. Sebagaimana yang ada di dalam Suluk Wujil: PANGABEKTINE INGKANG UTAMI, NORA LAN WAKTU SASOLAHIRA, PUNIKA MANGKA SEMBAHE MENENG MUNI PUNIKU, SASOLAHE RAGANIREKI, TAN SIMPANG DADI SEMBAH, TEKENG WULUNIPUN, TINJA TURAS DADI SEMBAH, IKU INGKANG NIYAT KANG SEJATI, PUJI TAN PAPEGETAN. (Berbakti yang utama tidak mengenal waktu. Semua tingkah lakunya itulah menyembah. Diam, bicara, dan semua gerakan tubuh merupakan kegiatan menyembah. Wudhu, berak dan kencing pun juga kegiatan menyembah. Itulah niat sejati. Pujian yang tidak pernah berakhir)
Jadi hakikat yang disebut Sholat Daim nafas kehidupan yang telah manunggaling kawulo lan gusti, yang manifestasinya adalah semua tingkah laku dan perilaku manusia yang diniatkan untuk menyembah-Nya. Selalu awas, eling dan waspada bahwa apapun yang kita pikirkan, apapun yang kita kehendaki, apapun yang kita lakukan ini adalah bentuk yang dintuntun oleh AKU SEJATI, GURU SEJATI YANG SELALU MENYUARAKAN KESADARAN HOLISTIK BAHWA DIRI KITA INI ADALAH DIRI-NYA, ADA KITA INI ADALAH ADA-NYA, KITA TIDAK ADA, HANYA DIA YANG ADA.
Sholat daim ini juga disebut dalam SULUK LING LUNG karya Sunan Kalijaga: SALAT DAIM TAN KALAWAN, MET TOYA WULU KADASI, SALAT BATIN SEBENERE, MANGAN TURU SAHWAT NGISING. (Jadi sholat daim itu tanpa menggunakan syariat wudhu untuk menghilangkan hadats atau kotoran. Sebab kotoran yang sebenarnya tidak hanya kotoran badan melainkan kotoran batin. Salat daim boleh dilakukan saat apapun, misalnya makan, tidur, bersenggama maupun saat membuang kotoran.)
Ajaran makrifat lain Sunan Kalijaga adalah IBADAH HAJI. Tertera dalam Suluk Linglung suatu ketika Sunan Kalijaga bertekad pergi ke Mekkah untuk melaksanakan ibadah haji. Di tengah perjalanan dia dihentikan oleh Nabi Khidir. Sunan dinasehati agar tidak pergi sebelum tahu hakikat ibadah haji agar tidak tersesat dan tidak mendapatkan apa-apa selain capek. Mekah yang ada di Saudi Arabia itu hanya simbol dan MEKAH YANG SEJATI ADA DI DALAM DIRI. Dalam suluk wujil disebutkan sebagai berikut:
NORANA WERUH ING MEKAH IKI, ALIT MILA TEKA ING AWAYAH, MANG TEKAENG PRANE YEN ANA SANGUNIPUN, TEKENG MEKAH TUR DADI WALI, SANGUNIPUN ALARANG, DAHAT DENING EWUH, DUDU SREPI DUDU DINAR, SANGUNIPUN KANG SURA LEGAWENG PATI, SABAR LILA ING DUNYA.
MESJID ING MEKAH TULYA NGIDERI, KABATOLLAH PINIKANENG TENGAH, GUMANTUNG TAN PACACANTHEL, DINULU SAKING LUHUR, LANGIT KATON ING NGANDHAP IKI, DINULU SAKING NGANDHAP, BUMI ANENG LUHUR, TINON KULON KATON WETAN, TINON WETAN KATON KULON IKU SINGGIH TINGALNYA AWELASAN.
(Tidak tahu Mekah yang sesugguhnya. Sejak muda hingga tua, seseorang tidak akan mencapai tujuannya. Saat ada orang yang membawa bekal sampai di Mekah dan menjadi wali, maka sungguh mahal bekalnya dan sulit dicapai. Padahal, bekal sesungguhnya bukan uang melainkan KESABARAN DAN KESANGGUPAN UNTUK MATI. KESABARAN DAN KERELAAN HIDUP DI DUNIA. Masjid di Mekah itu melingkar dengan Kabah berada di tengahnya. Bergantung tanpa pengait, maka dilihat dari atas tampak langit di bawah, dilihat dari bawah tampak bumi di atas. Melihat yang barat terlihat timur dan sebaliknya. Itu pengelihatan yang terbalik).
Maksudnya, bahwa ibadah haji yang hakiki adalah bukanlah pergi ke Mekah saja. Namun lebih mendalam dari penghayatan yang seperti itu. Ibadah yang sejati adalah pergi ke KIBLAT YANG ADA DI DALAM DIRI SEJATI. Yang tidak bisa terlaksana dengan bekal harta, benda, kedudukan, tahta apapun juga. Namun sebaliknya, harus meletakkan semua itu untuk kemudian meneng, diam, dan mematikan seluruh ego/aku dan berkeliling ke kiblat AKU SEJATI. Inilah Mekah yang metafisik dan batiniah. Memang pemahaman ini seperti terbalik, JAGAD WALIKAN. Sebab apa yang selama ini kita anggap sebagai KEBENARAN DAN KEBAIKAN MASIHLAH PEMAHAMAN YANG DANGKAL. APA YANG KITA ANGGAP TERBAIK, TERTINGGI SEPERTI LANGIT DAN PALING BERHARGA DI DUNIA TERNYATA TIDAK ADA APA-APANYA DAN SANGAT RENDAH NILAINYA.
Apa bekal agar sukses menempuh ibadah haji makrifat untuk menziarahi diri sejati? Bekalnya adalah kesabaran dan keikhlasan. Sabar berjuang dan memiliki iman yang teguh dalam memilih jalan yang barangkali dianggap orang lain sebagai jalan yang sesat. Ibadah haji metafisik ini akan mengajarkan kepada kita bahwa episentrum atau pusat spiritual manusia adalah BERTAWAF. Berkeliling ke RUMAH TUHAN, berkeliling bahkan masuk ke AKU SEJATI dengan kondisi yang paling suci dan bersimpuh di KAKI-NYA YANG MULIA. Tujuan haji terakhir adalah untuk mencapai INSAN KAMIL, yaitu manusia sempurna yang merupakan kaca benggala kesempurnaan-Nya.
Sunan Kalijaga adalah manusia yang telah mencapai tahap perjalanan spiritual tertinggi yang juga telah didaki oleh Syekh Siti Jenar. Berbeda dengan Syekh Siti Jenar yang berjuang di tengah rakyat jelata, Sunan Kalijaga karena dilahirkan dari kerabat bangsawan maka dia berjuang di dekat wilayah kekuasaan. Di bidang politik, jasanya terlihat saat akan mendirikan kerajaan Demak, Pajang dan Mataram. Sunan Kalijaga berperan menasehati Raden Patah (penguasa Demak) agar tidak menyerang Brawijaya V (ayahnya) karena beliau tidak pernah berlawanan dengan ajaran akidah. Sunan Kalijaga juga mendukung Jaka Tingkir menjadi Adipati Pajang dan menyarankan agar ibukota dipindah dari Demak ke Pajang (karena Demak dianggap telah kehilangan kultur Jawa.
Pajang yang terletak di pedalaman cocok untuk memahami Islam secara lebih mendalam dengan jalur Tasawuf. Sementara kota pelabuhan jalurnya syariat. Jasa lain Sunan Kalijaga adalah mendorong Jaka Tingkir (Pajang) agar memenuhi janjinya memberikan tanah Mataram kepada Pemanahan serta menasehati anak Pemanahan, yaitu Panembahan Senopati agar tidak hanya mengandalkan kekuatan batin melalui tapa brata, tapi juga menggalang kekuatan fisik dengan membangun tembok istana dan menggalang dukungan dari wilayah sekeliling. Bahkan Sunan Kalijaga juga mewariskan pada Panembahan Senopati baju rompi Antakusuma atau Kyai Gondhil yang bila dipakai akan kebal senjata apapun.

Sumber :  http://wongalus.wordpress.com/

SULUK LING LUNG
SUNAN KALIJAGA (SYEH MELAYA)
Karangan : Iman Anom
Tahun 19806 Caka / 1884 M

BRAMARA NGISEP SARI
PUPUH I
DHANDHANGGULA

1. Jumadilawwal puruning nulis, Isnen Kliwon tanggal ping pisan, tahun Je mangsa destone, nenggih sengkalanipun, “Ngerasa sirna sarira Ji”, turunan saking kitab, Duryat kang linusur, sampun kirang pangaksama, ingkang maca kitab niki sampun kenging, kula den apuntena.

2. Pawartane pandhita linuwih, ingkang sampun saget sami pejah, pejah sajroning uripe, sanget kepenginipun, pawartane kang sampun urip, marma ngelampahi kesah, tan unigeng luput, anderpati tan katedah, warta ingkang kagem para Nabi Wali, mila wangsul kewala.

3. Ling lang ling lung sinambi angabdi, saking datan amawi sabala, kabeka dene nafsune, marmannya datan kerup, dennya amrih wekasing urip, dadya napsu ingobat, kabanjur kalantur, eca dhahar lawan nendra, saking tyas awon perang lan nepsu neki, sumendhe kersaning Hyang.

4. Ling lang ling lung anedheng Hyang Widhi, mugi-mugi binuka Hyang Sukma, den legakna ing atine, sakayun yawunnipun, marga dadi sembah lan puji, saking telasing manah, pramila nenuwun, nanging tan apunten ing Hyang saking mboten saged nembah lawan muji, ngawur datan uninga.

5. Ling lang ling lung pan kendel pribadi, tanpa rewang pan ucek-ucekan, yetukaran pada dewe, tan adoh swaranipun, pan gumrejeg padu tan enting, pan rebut kalah menang, tan ana rinebut, lir ngrebut prajeng Ngastina, lali kadhang miwah bapa anak rabbi, jiwa raga tan ketang.

6. Ling lang ling lung tan weruh ing isin, saking kedah uningeng ing warta, sinahu tapa lan luwe, yen ana kanca rawuh, melu mangan pan datan eling yen mungkur kancanira, tan mangan saumur, saking tan ana pinangan, ling lang ling lung angon paesan pribadi, tansah nagih buruhan.

7. Ling lang ling lung tan olih, anenagih ngrejeg tanpo potang, kang tinagih meneng bae, pan nyata nora nyambut, kang anagih awira-wiri, tan ana beda nira, Syeh Malaya iku, wit puruhita atapa, mring Jeng Sunan Benang kinen tengga kang cis, tan kena yen kesaha.

8. Ling lang ling lung pan sang mendha luwih, buda teja tequde sarira, upamakken ing sanise, wonten sujalma luhung, putra Tuban Rahaden Syahid, duk sepuh nama Sunan, Kalijaga sampun, langkung sinihan Hyang Sukma, ingkang sampun dadi keramating Hyang Widhi, Mijil saking asmara.

KASMARAN BRANTA
PUPUH II
ASMARADANA

1. Kapincut ingkang anulis, denira mirsa carita, duk kina iku wartane, Jeng Suhunan Kalijaga, rikala mrih wekasan, anggeguru kang wus luhur, anepi dhukuh ing Benang.

2. Puruhita wus alami, tan antuk faedah kang nyata, mung nglakoni papa wae, pan agung kinen atapa, dateng Jeng Sunan Benang, kinen tengga gurda sampun, tan kenginganke kesaha.

3. Wonten satengah wanadri, gennya ingkang gurda-gurda, pan sawarsa ing lamine, anulya kinen ngaluwat, pinendhem mandyeng wana, setahun nulya dinudhuk, dateng Jeng Sunan Benang.

4. Anulya kinen angalih, pitekur ing kali jaga, malih karan jejuluke, sawarsa tan kena nendra, utawi yen dahara, tinilar mring Mekah sampun, dhumateng Sinuhun Benang.

5. Nyata wus jangkep sawarsi, Syeh Malaya tinilikan, pinanggih pitekur bae, Jeng Sunan Benang ngandika, Eh Jebeng luwarana, jenenge wali sireku, panutup panatagama.

6. Den becik gama nireki, agama pan tata krama, krama –kramate Hyang Manon, yen sira panata syarak, sareh iman hidayat, hidayat iku Hyang Agung, agung ing ngrahanira.

7. Kanugrahane Hyang Widhi, ambawani kasubdibyan, pangawasane pan dene, kadigdayan kaprawiran, sakabeh rehing yuda, tan liya nugraha luhur, utamane kahutaman.

8. Utama nireki bayi, dene kang sediya murba, kang amurba ing deweke, Misesani aneng sarira, nanging tan darba purba, sira kang murba Hyang Agung, den mantep ing panarima.

9. Syeh Malaya matur aris, kalangkung nuwun patik bra, kalingga murda wiyose, nanging amba matur Tuan, anuwun babar pisan, ing jatine sukma luhur, kang aran iman hidayat.

10. Kang manteb narima Gusti, kang pundi ingkang nyatanya, kulanuwun sameloke, yen ngemungna basa swara, amba anut kumandhang, yen pralena anglir kukus, tanpa karya olah sarak.

11. Jeng Sunan lingira aris, Syeh Malaya bener sira, sing atapa panggih ingong, ingkang aran panarima, kang eling maring karya, duk lagi kamulanipun, apan nora kadya mega.

12. Pan kadya hidayat wening sarupa iman hidayat, apa katon sabenere, nanging iku wruhanira, datan kena dinuga, atawa yen sira bantu, kalawan netra kepala.

13. Ulun iki lir sireki, kapingin uga weruha, mring hidayat sameloke, nanging ingsun durung wikan, meloke kang hidayat, mung werta kang sun pituhu, jer iku andikaning Hyang.

14. Umatur Jeng Sunan Kali, pukulun nuwun jinatenan, punapa wonten wiyose, ingkang aran tanpa sifat, kang sifat tanpa aran, kawula nuwun pituduh, angen-angen ingkang wekasan.

15. Sunan Benang ngandika ris, yen sira amrih wekasan, matenana ing ragane, sinauwa pejah sira, mumpung ta meksih gesang, anyepiya mring wanagung, aja nganti kamanungsan.

16. Wus telas dennya pawarti, jeng Sunan Benang wus jengkar, saking ing kalijagane, ngalor ngetan ing lampahnya, antawis sahonjotan, Syeh Malaya atut pungkur, lumebeng ing wana wasa.

17. Pan angidang lampah neki, awor lan kidang manjangan, atenapi yen asare, pan aturu tumut nangsang, kadi turuning kidang, yen asaba mapan tumut, lir kadya sutaning kidang.

18. Yen ana jalma udani, kang kidang lumayu gebras, Jeng Sunan ameli gebras, pan lumayu berangkangan, kadi playuning kidang, wayang-wuyung datan kantun, anut ing solahe kidang.

19. Nyata wus jangkep sawarsi, Syeh Malaya dennya ngidang, malah langkung ing janjine, nyata Jeng Sinuhun Benang, arsa shalat mring Mekah, sekedhep netra pan sampun, bakdane shalat glis prapta.

20. Jeng Sunan kendel wanadri, mulat mring kidang lumajar, dene sutane ngiyar-ngiyor, Sunan Benang emut ing tyas, yen wonten Wali ngidang, Syeh malaya wastanipun, aglis sira pinaranan.

21. Syeh Melaya apan gendring, pelayune nunjang palang, datan etung jurang pereng, binujung nora kecandhak, jinaring lan den kala, yen kena kala marucut, yen nunjang jaring pan liwat.

22. Bramantya Sang Maha Yekti, sasumbar sajroning nala, Wali waddat mbuh gawene, mejanani sira kidang, nguni sun nyekel barat, kang luwih lembut tan mrucut, kang agal teka agagal.

23. Yen luputa pisan iki, luhung aja dadi jalma, tan patut mung dadi sato, kurda muntap Sunan Benang, pan sarwi nyipta sega, tigang kepel mapan sampun, mundur kinarya bebalang.

PUPUH III
D U R M A

1. Sigra mara Kanjeng Sunan anerajang, ing wana langkung sungil, nyata wus kapanggya, kang lagi laku ngidang, lumayu binalang aglis, sega kepelan, tiba ing gigir neki.

2. Syeh Melaya pan aririh pelayunya, anulya piningkalih, kena lambungira, deperok Syeh Malaya, anulya binalang malih, sega kepelan, emut nulya ngabekti.

3. Pan anderu sumungkem angras pada, ngandika sang ayogi, “jebeng wruhanira, yen sira nyuwun wikan, kang sifat hidayatullah, mungga kajiya, mring Mekah marga suci.

4. Anbambila toya zam-zam mring Mekah, iya banyu kang suci, sarta ngalap barkah, Kanjeng Nabi panutan, Syeh Malaya angabekti, angaras pada, pamit sigra lumaris.

5. Sang Pandita wus lajeng hing lampahira, mring Benang dhepok sepi, nyata kawuwusa, lampahe Syeh Malaya, kang arsa amunggah kaji, dhateng hing Mekah, lampahnya murang margi.

6. Nrajang wana munggah gunung mudhun jurang, iring-iring pan mlipir, jurang sengkan nrajang, wauta lampahira, prapteng pinggir pasisir, puter driya, pakewuh marga neki.

7. Ning pangkalan samodra langkung adohnya, angelangut kaeksi, dyan jetung kewala, aneng pinggir samodra, wonten ingkang winarni, sang Pajuningrat, praptane sang Kaswasih.

8. Apan tuhu uninga ing lampahira, Syeh Malaya prihatin, arsa wruh hidayat, apan terah tinerah, sukma sinukma piningit, tangeh manggiya yen tan nugraha yekti.

9. Nyata majeng nggebyur malebeng samodra, tan toleh jiwa diri, wau Syeh Malaya, manengah lampahira, anut parmaning Hyang Widhi, ing sanalika, prapteng teleng jaladri.

10. Ya ta malih Jeng Sunan ing Kalijaga, neng telenging jeladri, sampun pinggihan, pan kadya wong leledhang, peparabe Nabi Khidir, pan tanpa sangkan, ngandika tetanyaris.

11. Syeh Malaya apa ta sedyanira, prapteng enggone iki, apa sedya nira dene sepi kewala, tan ana kang sarwo bukti, myang sarwo boga, miwah busana sepi.

12. Amung godhong aking yen ana kaleyang, tiba ingarsa mami, iku kang sun pangan, yen ora-ora nana, garjita tyas sira myarsi, Kanjeng Susunan, ngungun duk amiyarsi.

13. nabi ningrat ngandika mring kang prapta, putu ing kene iki, akeh panca baya, yen nora etoh jiwa, mangsa tumekaha ugi, ing kene mapan, sekalir padha merih.

14. Ngegungaken ciptanira maksih kurang, nora ageman pati, sabda kaluhuran, dene mangsa anaha, keweran tyas Sang Kaswasih, ing sahurira dene tan wruh ing gati.

15. dadya alon atur ira Syeh Melaya, mangsa borong Sang Yogi, Sang Wiku lingira, apan ta sira uga, kasmaran hidayat ullih, wekasan ningrat, meloke ing saiki.

16. Anglakoni pituduhe guru nira, Sunan Benang Sang Yogi, tuduh marang sira, kinen ning negri Mekah, pan arsa myang munggah kaji, mulane nyawa, angel pratingkah urip.

17. Aja lunga yen tan wruh kang pinaranan, lan aja mangan ugi, yen tan wruh rasanya, rasane kang pinangan, aja nganggo-anggo ugi, yen durung wruha arane busana di.

18. Witing weruh atakono pada jalma, lawan tetiron nenggih, dadi lan tumandhang, mengkono ing agesang, ana jugul nganggo-anggo ugi, yen durung wruha arane busana di.

19. Lamun kuning den anggep kencana mulya, mangkono ing ngabekti, pernahe kang sinembah, Syek Melaya duk miyarsi, ndeku norraga, dene Sang Wiku sidik.

20. Sarwi sandika ing atur ira, Syeh Melaya minta sih, anuwun jinatenan, sinten ta aran tuan, dene mriki peribadi, Sang Pujuningrat, Hya ingsun Nabi Kihidzir.

21. Atur sembah pukulun nuwun jinatenan,pun patik nuwun asih, ulun inggih datan, wruh puruhiteng badan, sasat satoning wanadri, tan mantra-mantra, waspadeng badan suci.

22. Lang lung mudha punggung cinacad ing jagad, keksi-keksi ning bumi, engganing curiga, ulun tanpa warangka, wecana kang tanpa siring, nyata ngandika, manis sang Nabi Khidir.

“SANG NABI KHIDIR”
PUPUH IV
DHANDHANGGULA

1. Lamun sira munggah kaji, maring Mekah thuke ana apa, hya Mekah pan tilas bae, Nabi Ibrahim kruhun, ingkang yasa kang ponang mesjid, miwah tilase ka’bah, kang arupa watu, gumantung tanpa centhrlan, apa iku kang sedya sira bekteni, dadi mangan brahala.

2. Iya kaya idhepe wong kapir, dene iya esmu ngangka-angka, trus madhep mring brahalane, nadyan wus haji iku, yen tan weruh paraning kaji, ka’bah pan dudu lemah, kayu watu dudu, margone tan kanggo lunga, mring ka’bah yen arsa wruh ing ka’bah jati, jati iman hidayat.

3. Lahgita mara Syeh Melaya aglis, amanjinga guwa garbaning wang, Syeh Melaya kaget tyase, Dadya metu gumuyu, Pan angguguk turira aris, saking pundi marganya, kawula geng luhur, antawis mangsa sedhenga, saking pundhi marganing gen kula manjing, dening buntet kewala.

4. Nabi Khidir angandika ris, gedhe endhi sira lawan jagad, kabeh iki sak isine, alas samudra gunung, nora sesak ing garba mami, tan sesak lumebewa, ing jro garba ningsun, Syeh Melaya duk miarsa, langkung ajrih kumel sandika tur neki, ningleng ma’bitingrat.

5. Iki dalan talingan iki, Syeh Melaya manjing sigra-sigra, wus prapta jero garbane, andalu samudra gung, tanpa tepi nglangut lumaris, liyep adoh katingal, Nabi Khidir nguwuh, eh apa katon ing sira, dyan umatur Syeh Melaya inggih tebih, tan wonten kang katingal.

6. Awang uwung kang kula lampahi, uwung-uwung tebih tan katingal, ulun saparan parane, tan mulat ing lor kidul, kulon wetan datan udani, ngandhap ing luhur ngarsa, kalawan ing pungkur, kawula mboten uninga, langkung bingung Nabi Khidir ngandikaris, aja maras tyasira.

7. Byar katingal madhep Nabi Khidir, Syeh Melaya Jeng nabi kawang-wang, umancur katon cahyane, nalika wruh  lor kidul, wetan kilen sampun kaheksi, nginggil miwah ing ngandhap, pan sampun kadulu, lawan andulu baskara, eca tyase dene Jeng Nabi kaheksi, aning jagat walikan.

8. Kanjeng Nabi Khidir ngandika ris, aja lumaku andeduluwa, apa katon ing dheweke Syeh Melaya umatur, wonten werni kawan perkawis, katingal ing kawula, sedaya puniku, sampun datan katingalan, anamung sekawan perkawis kaheksi, ireng bang kuning pethak.

9. Angandika Kanjeng Nabi Khidir, ingkang dihin sira anon cahya, gumawang tan wruh arane, panca maya puniku, sejatine teyas sayekti, pangarepe sarira, Pancasonya iku, ingaranan muka sipat,  ingkang nuntun maring sifat kang linuwih, yeku asline sipat.

10. Maka tinuta aja lumaris, awatana rupa aja samar, kuwasane tyas empane, ngingaling tyas puniku anengeri maring sejati, eca tyas Syeh Melaya, duk miyarsa wuwus, lagiya medhep tyas sumringah, dene ingkang kuning abang ireng putih, yeku durga manik tyas.

11. Pan isining jagad amepeki, iya iku kang telung prakara, pamurunge laku kabeh, kang bisa pisah iku yekti bisa amoring ghaib, iku mungsuhe tapa, ati kang tetelu, ireng abang kuning samya, angadhangi cipta karsa kang lestari, pamore Sukma Mulya.

12. Lamun ora kawileting katri, sida nama sirnane sarira, lestari ing panunggale, poma den awas emut, dergama kang munggeng ing ngati, pangawasane weruha, wiji wijenipun, kang ireng luwih prakosa, panggawene serengen sebarang runtik, dursila angambra-ambra.

13. Iya iku ati kang ngedhangi, ambuntoni marang kabecikan, kang ireng iku karyane, dene kang abang iku, iya tudhuh nepsu tan becik, sakabehe pepinginan, metu saking iku, panas baran papinginan, ambuntoni maring ati ingkang ening, maring ing kawekasan.

14. Dene iya ingkang rupa kuning, kuwasane neng gulang sebarang, cipta kang becik dadine, panggawe amrih hayu, ati kuning ingkang ngadhangi, mung panggawe pan rusak, linantur jinurung, mung kang putih iku nyata, ati enteng mung suci tan ika iki, prawira ing karaharjan.

15. Amung iku kang bisa nampani, mring syahide sejatine rupa, nampani nugrahan nggone, ingkang bisa tumanduk, kang lestari pamore kapti, iku mungsuhe tiga, tur sereng gung ngagung, balane ingkang tetiga, iku putih tanpa rewang mung sawiji, mila ngagung kasoran.

16. Lamun bisa iya nyembadani, mring sasuker kang telung prekara, sida ing kana pamore, tanpa tuduhan iku, ing pamore kawula Gusti, Syeh Melaya miharsa, sengkut pamrihipun, sangsaya birahi nira, iya maring kawuwusing ingahurip, sampurnaning panunggal.

17. Sirna patang prakara na malih, urip siji wewolu warnanya, Syeh Melaya lon ature, punapa wastanipun, urip siji wewolu warni, pundi ingkang sanyata, urup kang satuhu, wonten kadi retna muncar, wonten kadi maya-maya ngebati, wonten abra markata.

18. Marbudengrat Nabi Khidir angling, iya iku sejatine tunggal, sarira marta tegese, iya aneng sireku, tuwin iya isining bumi, ginambar angga nira, lawan jagad agung, jagad cilik tan prabeda, purwane ngalor kulon kidul puniki, wetan ing luhur ngandhap.

19. Miwah ireng abang kuning putih, iya iku panguripaning bawana, jagad cilik jagad gedhe, pan padha isenipun, tinimbang keneng sira iki, yen ilang warna ingkang, jagad kabeh suwung, sesukere datan ana, kinumpulken marang rupa kang sawiji, tan kakung tan wanodya.

20. Kadi ta wangunana puniki, kang asawang peputeran danta, tak pyo dulunen kiye, Syeh Melaya andulu, kang kadya peputeran gadhing, cahya mancur gumilang, neneja ngenguwung, punapa inggih puniku, rupaning dzat kang pinerih pun ulati kang sejatining rupa.

21. Nabi Khidir angandika aris, iku dudu ingkang sira sedya, kang mumpuni ambeg kabeh, tan kena sira dulu, tanpa rupa datan pawarni, tan gatra tan satmata, iya tanpa dunung, mung dumunung mring kang awas, mung sasmita aneng jagad angebaki, dinumuk datan kena.

22. Dene iku kang sira tingali, kang sawang peputeran denta ingkang, gumilang gilang cahyane, angkara kang murub, Sang Permana arane iki, uripe kang sarira, permana puniku, tunggal ana ing sarira, nanging datan melu suka lan prihatin, panggone aneng raga.

23. Datan melu suka lan prihatin, iya nora melu lara lapa, ye iku pisaha anggone, raga kari ngalumpruk, yekti lungkrah badanireki, ya iku kang kuwasa, nandhang rasanipun, inguripan dening sukma, iya iku sinusih anandhang urip, ngaken rahasya ningrat.

24. Hya iku sinandhangken mring sireki, nanging kadya simbaring kakywan, aneng hing raga enggone, uripe permaneku, inguripan sukma linuwih, misesa ing sarira, permana puniku, yen mati melu palaswan, yen lamun ilang sukmane slira urip nuli urip sukma kang ana.

25. Sirna iku iya kang pianggih, uriping sukma ingkang anyata, ingkang liwatan umpamane, lir rasane tumuwuh, permana kang amir sadhani, tuhu tunggal pinangka, jinaten puniku, umatur Syeh Melaya, ingkang pundi wernine ingkang sayekti, Nabi Khidir ngendika.

26. Nora kena yeku yen sira prih, ing kahanane semat-mata, gampang angel pirantine, Syeh Melaya umatur, kula nyuwun pamejang malih, inggih kedah uninga, babar pisanipun, pun patik ngaturaken pejah, ambengana angen-angen ingkang pesthi, sampuna nuwas ngantiya.

PUPUH V
KINANTHI

1. Nabi Khidir rum, wor perlambang esmu neki, umpamane wong rerasan, loting kang adi pantesing, kang loting bumbu sastnya, wor rahsa karasa suci.

2. Nurbuat kang rahsa iku, sejatine rahsa iki, duk ana ing sifat jamal, Johar awal yen wus mijil, Johar akhir wus dewasa, kang awal rahsa sejati.

3. Kang Johar akhir puniku, sawujud sak pati urip, johar duk sawujud tunggal, rahsa tunggal urip tunggil, tunggal lawan johar awal, kang johar akhir puniki.

4. Sawujud sagesang lampus, sapolahe johar akhir, salamine anarima, kang johar batin puniki, kang pinuji kang sinembah hya iku Allah sejati.

5. Nora nana roro iku, sira iku nuqod ghaib, nuqod ghaib duk ing kuna, nora sarta nora mati, temene nuqod punika, ghoib iku jeneng reki.

6. Wus tumiba neqdu iku duk mahune urip, tinarik alip dadinya, alid iku jisim latip, sejatine ananira, neqdu iku denarani.

7. Johar jati iya iku, jenengira iku urip, syahadat jati urip ira, ingaranan getih urip, getih urip ingaranan, Rasulullah rasa jati.

8. Syahadat jati getih, rasa jatining dzat sami, Jabrail Muhammad Allah, telune kapate iki, getih urip arannira, tingalana nyawang mati.

9. Apa ana getihipun, getih iku ilang neki, ilange awor lan sukma, sukma ilang ya ananging, padha ana alip ika, ingaranan ruh idhofi.

10. Jisim latif jatenipun, kang ingaranan jisim latip, jisim angling duk ing kuna alip winastanan angling, alip iku tanpa netra, tan angucap tan miyarsi.

11. Tanpa karsa tan andulu, iya iku ingkang alip, alip tiba ing neqdunya, norane anane dadi, alip iku jinabaran, pan ruh idlofi Dzatullih.

12. Wus kapeca sedaya wus, ruh idhofi gagetining, dzat sejati alip ika, jabar lan jere puniki, aneng johar alip ika, arane kalam birahi.

13. Birahi ananereku, aranira Allah jati, tanana kalih tetiga, sapa wruha yen wus dadi, ingsun weruh pesti nora, ngarani namanireki.

14. Sipat jamal ta puniku, ingkang kinen angarani, pepakane ana ika, akon ngarani puniki, iya Allah angandika, mring Muhammad kang kekasih.

15. Yen tanana sira iku, ingsun tanana ngarani, mung sira ngarani ing wang, dene tunggal lan sireki iya Ingsun iya sira, aranira aran mami.

16. Hannerehken sira iku, apa sira terbuka ning, araningsun iya sira, kang sawujud lawan mami, deningsun semjen lan sira, pesthine nora ngarani.

17. Aranira araningsun, apan sira iku uwis, ing donya lawan akkherat, sira iki gegentining Muhammadar rasulullah, nabiyullah ya ilahi.

18. Pertandhane Allah iku, aneng sira dipun eling, jabar jere alip ika, alip iku pese reki, budi jati aranira, ilang budi sajroning.

19. Kang micareku, angendhoraken birahi, karo dudu karo iya, ya iku kang johar budi, iku aran budi iman, alip tiba neqdu pesthi.

20. Sejatine alip iku, srwo nora dora neki, kang alip iku namanya, nora nipun ana keki, alip adi aranira, kang asih ananireki.

21. Johar awal ananipun, kang johar kahanan jati, tinja junub lan jinabat, johar awal ganda neki, iku tiba ing neqtunya, norane sajroning urip.

22. Urip jroning johar iku, urip mati sajroning, iya aneng johar awal, pagene sholat sireki, ya ana ing ndalem ndonya, purwane sholat puniki.

23. Den kawangwang maring neqdu, ghoib aneng sira iki, pagene ya ngadeg sira, sidhakep marwasa wening, sedhakep tunggal kahanan, tunggal sapari polah neki.

24. Pangucap nunggal sireku, wedale rukuk tumuli, kerasa duka lan cipta, tumetes banyu kang wening, ning urip ruh sekalirnya, rahsa iman saderahi.

25. Kang saderah ananipun, pagene sujud neng bumi, paran dadi duk wahunya, cahya ingkang sasmitaning, ya iku semune rupa, semurupeku sejati.

26. Kang agama dunungipun, iya ingkang bumi langit, ingkang ananira nika, sirnaning dunya kang ati, iya iku atenira, kang sujud aneng ing bumi.

27. Pagene linggih amangu, angawang anguwung den panggih, jatine iku tan ana, pangeran iku sejati, yeku kawula jatinya, dudu Allah sira iki.

28. Lan Muhammad iya dudu, patemon rahsa sejati, ingkang rahsa dudu rahsa, ya Allah Muhammad ciri, iya kawulane haram, lamun puasaha iki.

29. Lan haram kawulanipun, lamuna sidqoha iki, lan kawulanipun haram, iya yen munggaha Hajji, lawan kawulaning haram, lamuna sholata iki.

30. Surya nora wulanipun, norane dadi cahyeki, pan hidayat imanira, tauhid panembah reki, makrifat pangawruh kita, ya ru’yat minangka seksi.

31. Den tingali sipatipun, sipate Allah sejati, kang asli aslining Allah, ya Allah-Allah kang urip, den af’ale iya Allah, yeku duk jumeneng ru’yati.

32. Yen urip selawasipun, ru’yat jeneng khoiroti, makrifat jeneng ing donya, johar awal khoiroti, iya uwis jenengira, yeku pangasan kamil.

33. Insan kamil dzatullahu, sejatine nuqod ghoib, iya dzat sabenerira, sipatullah dzatullahi, insan kamil jenengengira, anane Allah puniki.

34. Dene kendhih jenengipun, nuqod ghoib insan kamil, iya sejatine nora, yeku aran puji budi, budi iku urip ira, lawan nyawa iku urip.

35. sarta lawan badanipun, aran badan Muhammadi, kang antuk urip sampurna, Syeh Melaya matur aris, mila mat keneng neraka, nuwun pawarta sejati.

36. Nabi Khidir ngandika rum, eh Melaya lire iki, nraka jasmani kang ana, jrone neraka ya iki, kang tan weruh Nabiyullah, ruh kang tan kena ing pati.

37. Ruh jasmani uripipun, samilan kewan puniki, iku kang aneng neraka, kang nepsu pingile iblis, yen nepsune dipun umbar, tan anut maring Hyang Widi.

38. Ngendelaken ngilmunipun, tan weruh Adam Nabi, yeku yeku aran iman tahdlat, umat kalebu jasmani, kawruh tanpa ika, kang nembah datan ningali.

39. Saya kapir tuhonipun, kang nembah kayu watuning, tan ketang apa ukumnya, kapiring kang jahanami, yeku ruh idhofi nama, ahyan syabitah ing nguni.

40. Ya cahya pan tegesipun, kang gumilang ning baresih, kang tansah kinawikanan, kang ingilo kang pinanggih, jroning pati aran Adam, idhofi sadurung neki.

41. Sirik ana wujudipun, ing panrimba ran johar ning, kapingneme johar awal, johar awal mutyara di, sesoca raga kumala, johar aran adi kapi.

42. Witing upama ping pitu, kang myarsa sabdaning gusti, ruh idhofi ta wujudnya, kang aneng dzate mutliqi, ruh sumendhe ing Dzatullah, ingaranan ruh idhofi.

43. Johar awal iya iku, kang ingaran sholat da’im, sholat da’im tan kalawan, met toya wudhlu khadasi, sholat batin sabenernya, mangan turu syahwat ngising.

44. Iya dadi sholatipun, af’ale dadi pepuji, johar wau kumpul tunggal, sasuker ananing widi, anane – anane Allah, den kendheh anane nguni.

45. Lir kelir lan wayangipun, wayang tan ngawruhi kelir, hiya junub sunar-awedya, kang resik jisim mireki, hiya Muhammad badan Allah, Muhammad tan ana keri.

46. Hidayat pan imanipun, gagentenira Hyang Widi, ingaranan Rasulullah, Muhammad kang badan mukmin, ruh mukmin apandukiya, ruh idhofi iman neki.

47. Iman maksum wastanipun, kang antuk panutan jati, pan mangkono kawruhira, yen nora urip pireki, iku padha lawan kewan, yen tan wruh wuwus kang riyin.

48. Mengku iku nora wurung, tan weruh selami reki, yaiku pati kesasar, kupur kapir badan neki, dene wus wruh ujar ika, sakeh warana ngawruhi.

49. Pangeran tan ana telu, panutan Muhammadinil, pan sejatine wong kufar, kapire patang pedhati, ewuh tanpa panganutan, feqir parek kufur kafir.

50. Feqir parek lawan kufur, krana nira ingkang feqir, wuta tuli datan ana, suwarga neraka iki, feqir tan parek pangeran, tan ana wujude iki.

51. Tan anembah pujinipun, krana nira feqir kadi, hya ingkang feqir dzatullah, iku jatine Hyang Widi, patine feqir manungsa, pesthine Allah pribadi.

52. Iya yen dzatullah iku, iya anane kang feqir, ruh idhofi aran iman, ruh idhofi tunggal kang wit, iman tauhid aranira, ya Allah ya Muhammadi.

53. Taukhid hidayat sireku, tunggal lawan sang Hyang Widi, tunggal sira lawan Allah, uga donya uga akhir, ya rumangsana pangeran, ya Allah ana nireki.

54. Ruh idhofi sireku, makrifat ya den arani, uripe ingaranan Syahadat, urip tunggil jroning urip sujud rukuk pangasonya, rukuk pamore Hyang Widi.

55. Sekarat tanana nyamur, ja melu sira wedi, lan ja melu-melu Allah, iku aran sakaratil, ruh idhofi mati tanana, urip mati urip.

56. Den rumangsa ana neku, uripe Allah puniki, yeku urip kene-kana, sastra lip gurokna kaki, jabar jer pese uninganya, ingkang weruh kafir syirik.

57. Satuhune iya iku, kang tan wruh ing araneki, kang sholat sipat pangeran, Prabete kawula gusti, kang sholat jatine raga, hya kang sholat iman urip.

58. Datan nyawa huripipun, lam tamsyur iya af’aling, sholate purba wisesa, yektine kawula gusti, iku jatine Hyang Sukma, ruh idhofi taning mukmin.

59. Sagung ruh astanipun, ya ana ing ruh idhofi sipat jamal, kahelokane dzatullah, ruh idhofi jeneng maqam, kang kubur Rosulullahi.

60. Sarat jisim latif iku, tesih rip tan keneng pati, tejane kang ruh punika, tanpa jasad dhingdhing ari, sasmitane sifat jamal, sifat jamal sasmitaning.

61. Johar awal mayit iku, sasmita sirna ananing, ya iku kang pati padha, mangkono yen wis mati, donya urip ing akhirat, tlung dina perkara dadi.

62. Saking bapa saking babu, Ba pangeran tunggal katri, yeku sasmita tlung dina, kang titipan pitung ari, mulih iku kang titipan, titipan kadi ing nguni.

63. Pan taukhid makrifatipun, titipan sedasa katri, iku iya kang titipan, semune kang pitung ari, yen angis metokaken toya, sing cipta netra yekurip.

64. Lir duk uninge  saking nur, king cahya pinangka neki, iku semune karuna, dene mengku iki sami, sira mati sun kelangan, mati sirna ngawandesi.

65. Kadi pundi semonipun, sami wrasta ing sakehing, Allah Muhammad pan tunggal, nyatus tunggal wujud neki, sasmita oleh ing cahya, cahyane Muhammad jati.

66. Tunggal karo yen manuwun, ruh jasad ilang sajroning, pangayune sewu dina, nora ana ingkang keri, olihe sampun sampurna, sampurna  kaya duk uning.

67. Syeh Melaya trang tyasipun, miyarsa weling ngireki, ing guru Syeh Mahyuningrat, pan remen tan purun mijil, neng jero garba tur sembah, wuwuse lir madu gendhis.

PUPUH VI
DHANHANGGULA

1. Yeng mekaten kula mboten mijil, sampun eca ning ngriki kewala, mboten wonten sengsarane, tan niyat mangan turu, mboten arip mboten angelih, mboten rasa kangelan, tan ngeres tan linu, amung nikmat lan munfangat, Nabi Khidir lingira iku tan keni, yen nora lan antaka.

2. Sang saya sih mring jeng Nabi Khidir, marang kaswasih ingkang panedha, lah iya den awas bae, mring pamurunging laku, aja ana sira karemi, den bener den waspada, ing anggep pireku, yen wis kasikep ing sira, aja humung den anggo parah yen anglir, yeku reh pepingitan.

3. Nora kena yen sira rasani, lan sesama samaning manungsa, yen nora lan nugrahane, yen nana nedya padu, angrasani rerasan iki, yen teka kalahana, ja nganti kabanjur, ja ngadekaken sarira, aywa kraket marang wisayaning ngaurip, balik sikepan uga.

4. Kawisayan kang marang ing pati, den kahasta pamanthenging cipta, rupa ingkang sabenere, senengker buwaneku, urip datan ana nguripi, datan antara mangsa, iya ananipun, pan wus ana sarira, tuhu tunggal sejene lawan sireki, tan kena pisahenna.

5. Datan weneh sangkanira uni, tunggal sapakertining buwana, pan tuhu pamiharsane, wus ana ing sireku, pamirsane sukma sejati, iya tan klawan karna, ing panggulanipun, iya tan kalawan netra, karnanira netranira kang kinardi, ana anenging sira.

6. Dhohire sukma wus na sireki, bathinira kang ana ing sukma. Hiya mangkene teterape, kadya wreksa tinutu, ananing kang kukusing geni, sarta kalawan wreksa, lir toya lan alun, kadya minyak aneng pohan, raganira ing reh obah lawan mosik, iya lawan Hyang Sukma.

7. Yen wruh pamore kawula Gusti, sarta sukma kang sinedya ana, den wertani sira anggone, lir wayang sariraku, saking dhalang solahe ringgit, mangka panggunge jagad, kelir badanipun, amolah lamun pinolah, sak solahe kumedhep miharsa neki, tumindak lan pangucap.

8. Kang wisesa amisesa sami, datan antara pamore karsa, jer tanpa rowa rupane, wus ana ing sireku, umpamane pahesan jati, ingkang ngilo Hyang Sukma, wayangan puniku, kang ana sajrone kaca, iya sira jenenge manungsa jati, rupa sajrone kaca.

9. Luwih ageng kalepasan iki, lawan jagad ageng kalepasan, kalawan luwih lembute, salembute banyu, apan lembut kamuksan iki, liring lembut alitnya, sa aliting tengu, pan maksih alit kamuksan liring luwih amisesa ing sakelir, lire lembut alitnya.

10. Bisa nukma ing agal alit, kalimputan kabeh kang rumangkang, gumremet tanpa bedane, kaluwihan satuhu, luwih iya  desra nampani, tan kena ngendelena, hing warah lan euruk, den sanget panguswanira, badanira wasuhen nggenira ngungkin, wruha rungsite tingkah.

11. Wuruk iku pan minangka wiji, kang winuruk umpamane papan, poma kacang lan kedhele, yen sinebar ing watu, yen watune datan pasiti, kudanan kapanasan, yekti nora thukul, lamun sira wiceksana, ningalira sirnakna tingalireki, dadya tingal sukmasa.

12. Rupanira swaraning ugi, ulihna marang kang duwe swara, jer sira angaku bae, selisih kang satuhu, nanging aja sira duweni, pekareman kang liyan, mung marang Hyang Agung, dadine angraga sukma, obah usikira wus dadi sawiji, nywarara anggepira.

13. Yen dadiya anggepira yekti, yen nrasaha rara meksih was-was, kena ing rengu yektine, yen wus sawiji sawujud, sakrenteging tyas sireki, apa ingkang cinipta ana, kang sinedya rawuh, wus kawengku aneng sira, jagad kabeh jer sira minangka yekti, gegenti den asagah.

14. Yen wus mudheng pratingkah puniki, den awingit sarta sabah-sabab, sabab amor pangakone, nanging ngibaratipun, ing sakedhap tan kena lali, dhohire sasabana, kawruh patang dapur, padha anggepen sedaya, kalimane kang siji iku premati, kanggo ing kana-kana.

15. Liring mati sajroning ngahurip, iya urip sajroning pejah, urip bae selawase, kang mati nepsu iku, badan dhohir ingkang nglakoni, katampan badan kang nyata, pamore sawujud, pagene ngrasa matiya, Syeh Melaya den padhang sira nampani, wahyu prapta nugraha.

16. Lir sasngka katerangan riris, praptaning wahyu apan nirmala, sumilak ilang regede, angling malih nulya rum, Nabi Khidir manis aririh, tan ana kang pinaran, kabeh wus kawengku, tanana ingulatana, kaprawiran kadigjayan wus kawuri, kabeh rehing ngayuda.

17. Telas wulangnya jeng Nabi Khidir, Syeh Melaya ing tiyas keweran, weruh ing namane dhewe, hardaning tyas pan wus muluk, tanpa elar anjajah batin, sawengkone jagad raya, angga wus kawengku, mentes sak matining basa, sahinggane sekar maksih kudhup lami, mangke mekar ambabar.

18. Wuwuh lan gandanireki, wus kena kang pancaretna nulya, kinen medal sing hargane, pan sampun medal gupuh, angulihi alame lami, Nabi Khidir ngandika, Melaya sireku, wis tinarima Hyang Sukma, lulus saking gandane kasturi jati, pepanasing tyas sirna.

19. Wus leksana salekering bumi, ujar sira wruh pitakonira liring wardaya malane, den mantep panrimeku, dipun kadi ngangge sutradi, maya-mayaka sarira, reh kang sarwa alus, sinukma masingemasan, Harja satya sinatya manik memanik, wruh pakenak ing tingkah.

20. Dipun alus budenira iki, wernaning dyah kita eki sumekar, kasturi jati namane, pratandha datan kerup, hing pangawikan manah deng lungit, ngongkabana kabisan, kawruh nyawa kliru, miwah iku nata nira, busanane kawilet tuliya sari, ya destar nyampingira.

21. Mangka pangemut katon ing nguni, mati duk aneng jro garbaning wang, cahya kawang-kawang dheweke, kang abang kuning iku, pamurunge laku ngadhangi, ya kang putih kang tengah, sidane pangaku, klima iku den waspada, den kahasta sanalika ajalali, den tuhu ambekira.

22. Saking marmeng sun karya ling aling, pambengkase sum’ah jabariyah, den esthi siyang dalune, pan kathah nggen sun weruh, pratingkahe para maharsi, kang padha kaluputan, hing pangeguhipun, pangucaping kawruh ira, wus abener wekansan mati adadi, kawilet ing trap trapan.

23. Ana ingkang adadi ing peksi, amung mulih pencokan kewala, kayu kang becik warnane, arsa aneng nagasantun, ana tanjung ana waringin, temah ing pinggir pasar, engkuk mangkruk-mangkruk, angungkuli wong sapasar, pindha kamukten sepele kang pinurih, kasasar ambelasar.

24. Ana ingkang anitis paraji, sugih brana miwah sugih garwa, ana kang nitis putrane, putra kang arsa mengku, karesmene wong siji-siji, samiya tuk kaluwihan, ing panitisipun, yen mengkuha jeneng ing wang, durung harsa amangga-amrih pribadi, sadyaku ingaranan.

25. Tataning wada kang datan pesthi, durung jumeneng jalma utama, ingkang mangkono anggepe, pangrasane anemu, suka sugih lan wruh ing yekti, yen nuli nemu duka, kabanjur kalantur, sak nggone nitis kewala, tanpa wekas kangelan tan nemu kasil, tan bisa babar pisan.

26. Yen luputa anyakra bawani, apa karemane aneng donya, ing pati marang tibane, ing kono karemipun, nora kuat panyanggi pati, keron tan kasamaran, milah wawor sambu, abote oleh kamulyan, nora kena toleh maring anak rabi, sajrone wruh wekasan.

27. Yen luputa pitakone bumi, luhung sira aja dadi jalma, satogampang pretikele, sirnane tanpa tutur, yen wis sira benering kapti, langgeng tanpa kerana, hangga buwaneku, humeneng tan dadi sela, eningira iya nora dadi warih, werta tanpa tuduhan.

28. Ling ning pandhita anenakapi, ingkang muksa inggih karsa nira, anjungkung kasutapane, nyana kena den angkuh, tanpa tuduh mung tapa neki, tan mawi puruhita, suwung nguwung-uwung, mung kaciptanira nika, durung antuk wuruk pratikele urip, pangukuh ngaya wara.

29. Tapa nira nganti kuru aking, wus mangkana dennya mrih wekasan, datanpa tutur sirnane, kematengan tapa wus, dene pratikel kang ngaluwih, tapa iku minangka, reragi panemu, ngilmu kang minangka ulam, tapa tanpa ngilmu iya nora dadi, yen ngilmu tanpa tapa.

30. Jeplang-jeplang nora wurung dadi, asli nora wedhar hing trapnya, kacegah agung bejane, yekti ta dhadhanipun, apan akeh pandhita sandi, wuruke sinatengah, mring shohabatipun, sobate landhep priyangga, kang linempit winedhar raose nuli, ngaturaken gurunira.

31. Pamudhare mung grahita neki, nguni uni durung mambu warah, saking tan eco raose, matur ing gurunipun, langkung ngungun tumut nganggepi, sinasmaha kelawan, pandhita gung agung, wus pesthi anggepe nyata, iku wahyu nugraha dhawuh pribadi, sobat ingaken anak.

32. Sinungga sungga agung tinari, mering guru yen wus arsa mejang, tan tebih sanding enggone, sobat katemah ing guru, guru dadi sobating bating, lepasing panggrahita, nanduk sarwa wahyu, yeku utama kalihnya, guru sobat kalihe sami ngudani, satengah kang pandhita.

33. Kudu tinut sak ujare iki, dene lumakua sinembah, nengt pucuk gunung enggone, swaranira anguwuh, angebeki pertapaneki, yen ana wong amarak, wekase berudul, lir gong beri kang tinembang, pan kumarampyang binuka kang tanpa isi, tuna kang puruhita.

34. Aja kaya mengkono ngahurip, dipun kadi wayang, kiuudang aneng enggone, blincongipun, ngibarate panggungireki, damare ditya wulan, kelir alam suwung, ingkang nengga cipta keboh bumi tetepe adege ringgit, sinangga maring nanggap.

35. Kang ananggap aneng dalem puri, datan den usik olah sakersa, Hyang Premana dhedhalange, wayang pengadekipun, ana ngalor ngidul tuwin, yeku ngulon lan wetan, sliring solahipun, pinolahaken ing dhalang, yen lumaku linakokken kabeh iki, linabehken hing dhalang.

36. Pangucape ngucapaken ugi, yen kumecap ilate, anutur-nuturake, sakarsa karsanipun, kang anonton tinoleh sami, tinonaken ing dhalang, kang ananggapiku, sajege mangsa weruha, tanpa rupa kang ananggap neng jro puri, tanpa werna Hyang Sukma.

37. Hyang premana denira angringgit, ngucapaken hing sarira nira, tanpa awas sesamane, wimbuh pan ora tumut, hing sarira upamaneki, kang miyak munggeng pohan, geni munggeng kayu, anderpi tan katedah, angelir pintaka ing kayu panggerit, landhesan sami wreksa.

38. Panggeriting polah dening angin, gesenging kayu kukusnya medal, datan antara genine, geni kelawan kukus, saking kayu wijile neki, purwa eling duk kala, mula-mulanipun, kabeh iki kang gumelar, saking ghoib manungsa tinitah luwih apan ingaken rahsa.

39. Mulya dhewe saking kang dumadi, aja mengeng ciptanira tunggal, Tunggal sapari bawane, isine buwaneku, nganggep siji manungsa jati, mengku sagung kahanan, hing manungsa iku, kawisesane satunggal, panukmane salire jagad dumadi, tekad kang wus sampurna.

40. Lahya uwis Syeh Melaya aglis, baliya marang Pulo Jawa, pan sira uga jatine, Syeh Melaya agupuh, nembah matur angasih asih, aran kalingga murda, amba setya tuhu, Nabi Khidir nulya sirna, Syeh Melaya katon aneng jeladri, datan nrasa neng toya.

41. Syeh Melaya sanget pangasweki, ing pengete guru kang sampurna, pan sanget eling elinge, hardaning tyas amengku, isining rat kajajah batin, mantep premati basa, kaeruh tan kaliru, sinukma mas ingemasan, lulus saking badane kasturi jati, pepanase tyas sirna.

42. Wus mangkono Syeh Melaya mulih, wus tan mengeng ing batin gunmawang, nora pangling sarirane, panuksmaning sawujud, nanging dhohir sasat paningit, reh sarehing satriyan, linakon winengku, pamurwane jagad raya, pan wus ngagem batine nora anilih, lir sato lan rimbagan.

43. Wus tanana ngahurip, dennya tampa ing guru wisiknya, tanana samar-samare, wisiking gurunipun, wus tamat karegem aneng ati, nastiti kang angiman, angestokken guru, sarta lan kecaping rahsa, pan dinadar ing nala suci awening, nyata lamun nugraha.

44. Temene ingkang guru sayekti, kang wus sirna jasade tanana, kagiwang ana nalane, wus tumrap walinipun, dene sanggya sukering ati, padhang dunya akherat, wus resik atemu, sukci langgeng pan wus murah, mulya suka ing sapari polah neki, pana tanpa kerana.

45. Pan wus  panakacipta ning wangsit, tan asamar hing pati kacipta, wus samar ing waragane, marga ing pati luhung, kang sinelir maring Hyang Widi, tanana rasa rumangsa, rahsa kadi iku, sirnane tinggal punika, pan wus sirna alanggeng sukci mulyadi, mulya kadi duk kuna.

46. Nora samar sejatine pati, kang rumekseng pejah ing sekala, tan rumangsa hing pejahe, ingkang rusak ing nepsu, raga sukma kerta negari, suka mulya merdika, wus tumraping kayun, jumeneng ing purba nira, padha bersih langgeng suci wus weradin, wus wruh sirnaning tunggal.

47. Datan samar satibane pati, kang sampurna kang sinelir ika, tanana keksi wujude, kasampurnan puniku, pan wus karta negara singgih, anir nakkenriku, alam pepitu wus sirna, pan wus bersih sirnane alam puniki, tunggale ibaraha.

48. Ratuning alam pan wus kahesti, abirawa wastane punika, alam nenem iku lire, sirna wetan puniku, lawan kulon kidul lor iki, ing luhur lawan ngandhap, miwah kayu watu, tuwin bumi alit ika, ngawang nguwung kumandhang ing angin warih, hya mung alam dahana.

49. Surya candra alam puniki, tiga likur alam panasaran, dene iku anyar kabeh, pan sami qodimipun, Syeh Melaya pan nora pangling, yen iku penasaran, kang jati pang sampun, ratuning alam sedaya, kang nirmakken mung alam ambiyak iki, ambiyak mrik gundanya.