SULUK SUNAN BONANG
|
SALIK DAN GURU MURSYID |
Karya-karya Sunan Bonang yang dijumpai hingga sekarang dapat dikelompokkan menjadi dua:
(1) Suluk-suluk yang mengungkapkan pengalamannya menempuh jalan tasawuf
dan beberapa pokok ajaran tasawufnya yang disampaikan melalui
ungkapan-ungkapan simbolik yang terdapat dalam kebudayaan Arab, Persia,
Melayu dan Jawa. Di antara suluk-suluknya ialah Suluk Wujil, Suluk
Khalifah, Suluk Kaderesan, Suluk Regol, Suluk Bentur, Suluk Wasiyat,
Suluk Pipiringan, Gita Suluk Latri, Gita Suluk Linglung, Gita Suluk ing
Aewuh, Gita Suluk Jebang, Suluk Wregol dan lain-lain (Drewes 1968). (2)
Karangan prosa seperti Pitutur Sunan Bonang yang ditulis dalam bentuk
dialog antara seorang guru sufi dan muridnya yang tekun. Bentuk semacam
ini banyak dijumpai sastra Arab dan Persia.
Apa itu suluk? suluk adalah salah satu jenis karangan tasawuf yang
dikenal dalam masyarakat Jawa dan Madura dan ditulis dalam bentuk puisi
dengan metrum (tembang) tertentu seperti sinom, wirangrong, kinanti,
smaradana, dandanggula dan lain-lain . Seperti halnya puisi sufi
umumnya, yang diungkapkan ialah pengalaman atau gagasan ahli-ahli
tasawuf tentang perjalana keruhanian (suluk) yang mesti ditempuh oleh
mereka yang ingin mencpai kebenaran tertinggi, Tuhan, dan berkehendak
menyatu dengan Rahasia Sang Wujud. Jalan itu ditempuh melalui berbagai
tahapan ruhani (maqam) dan dalam setiap tahapan seseorang akan mengalami
keadaan ruhani (ahwal) tertentu, sebelum akhirnya memperoleh kasyf
(tersingkapnya cahaya penglihatan batin) dan makrifat, yaitu mengenal
Yang Tunggal secara mendalam tanpa syak lagi (haqq al-yaqin). Di antara
keadaan ruhani penting dalam tasawuf yang sering diungkapkan dalam puisi
ialah wajd (ekstase mistis), dzawq (rasa mendalam), sukr (kegairahan
mistis), fana’ (hapusnya kecenderungan terhadap diri jasmani), baqa’
(perasaan kekal di dalam Yang Abadi) dan faqr (Abdul Hadi W. M.
2002:18-19).
Faqr adalah tahapan dan sekaligus keadaan ruhani tertinggi yang dicapai
seorang ahli tasawuf, sebagai buah pencapaian keadaan fana’ dan baqa’.
Seorang faqir, dalam artian sebenarnya menurut pandangan ahli tasawuf,
ialah mereka yang demikian menyadari bahwa manusia sebenarnya tidak
memiliki apa-apa, kecuali keyakinan dan cinta yang mendalam terhadap
Tuhannya. Seorang faqir tidak memiliki keterpautan lagi kepada segala
sesuatu kecuali Tuhan. Ia bebas dari kungkungan ‘diri jasmani’ dan
hal-hal yang bersifat bendawi, tetapi tidak berarti melepaskan tanggung
jawabnya sebagai khalifah Tuhan di muka bumi. Sufi Persia abad ke-13 M
menyebut bahwa jalan tasawuf merupakan Jalan Cinta (mahabbah atau
`isyq). Cinta merupakan kecenderungan yang kuat terhadap Yang Satu, asas
penciptaan segala sesuatu, metode keruhanian dalam mencapai kebenaran
tertinggi, jalan kalbu bukan jalan akal dalam memperoleh pengetahuan
mendalam tentang Yang Satu (Ibid).
Sebagaimana puisi para sufi secara umum, jika tidak bersifat didaktis,
suluk-suluk Sunan Bonang ada yang bersifat lirik. Pengalaman dan gagasan
ketasawufan yang dikemukakan, seperti dalam karya penyair sufi di mana
pun, biasanya disampaikan melalui ungkapan simbolik (tamsil) dan
ungkapan metaforis (mutasyabihat). Demikian dalam mengemukakan
pengalaman keruhanian di jalan tasawuf, dalam suluk-suluknya Sunan
Bonang tidak jarang menggunakan kias atau perumpamaan, serta
citraan-citraan simbolik. Citraan-citraan tersebut tidak sedikit yang
diambil dari budaya lokal. Kecenderungan tersebut berlaku dalam sastra
sufi Arab, Persia, Turki, Urdu, Sindhi, Melayu dan lain-lain, dan
merupakan prinsip penting dalam sistem sastra dan estetika sufi
(Annemarie Schimmel 1983: ) Karena tasawuf merupakan jalan cinta, maka
sering hubungan antara seorang salik (penempuh suluk) dengan Yang Satu
dilukiskan atau diumpamakan sebagai hubungan antara pencinta (`asyiq)
dan Kekasih (mahbub, ma`syuq).
Drewes (1968, 1978) telah mencatat sejumlah naskah yang memuat
suluk-suluk yang diidentifikasikan sebagai karya Sunan Bonang atau
Pangeran Bonang, khususnya yang terdapat di Museum Perpustakaan
Universitas Leiden, dan memberi catatan ringkas tentang isi suluk-suluk
tersebut. Penggunaan tamsil pencinta dan Kekasih misalnya terdapat dalam
Gita Suluk Latri yang ditulis dalam bentuk tembang wirangrong. Suluk
ini menggambarkan seorang pencinta yang gelisah menunggu kedatangan
Kekasihnya. Semakin larut malam kerinduan dan kegelisahannya semakin
mengusiknya, dan semakin larut malam pula berahinya (`isyq) semakin
berkobar. Ketika Kekasihnya datang dia lantas lupa segala sesuatu,
kecuali keindahan wajah Kekasihnya. Demikianlah sestelah itu sang
pencinta akhirnya hanyut dibawa ombak dalam lautan ketakterhinggaan
wujud.
Dalam Suluk Khalifah Sunan Bonang menceritakan kisah-kisah kerohanian
para wali dan pengalaman mereka mengajarkan kepada orang yang ingin
memeluk agama Islam. Suluk ini cukup panjang. Sunan Bonang juga
menceritakan pengalamannya selama berada di Pasai bersama guru-gurunya
serta perjalanannya menunaikan ibadah haji ke Mekkah. Karya yang tidak
kalah penting ialah Suluk Gentur atau Suluk Bentur. Suluk ini ditulis di
dalam tembang wirangrong dan cukup panjang.
Gentur atau bentur berarti lengkap atau sempruna. Di dalamnya
digambarkan jalan yang harus ditempuh seorang sufi untuk mencapai
kesadaran tertiggi. Dalam perjalanannya itu ia akan berhadapan dengan
maut dan dia akan diikuti oleh sang maut kemana pun ke mana pun ia
melangkah. Ujian terbesar seorang penempuh jalan tasawuf atau suluk
ialah syahadat dacim qacim. Syahadat ini berupa kesaksian tanpa bicara
sepatah kata pun dalam waktu yang lama, sambil mengamati gerik-gerik
jasmaninya dalam menyampaikan isyarat kebenaran dan keunikan Tuhan.
Garam jatuh ke dalam lautan dan lenyap, tetapi tidak dpat dikatakan
menjadi laut. Pun tidak hilang ke dalam kekosongan (suwung). Demikian
pula apabila manusia mencapai keadaan fana’ tidak lantas tercerap dalam
Wujud Mutlak. Yang lenyap ialah kesadaran akan keberadaan atau kewujudan
jasmaninya.
Dalam suluknya ini Sunan Bonang juga mengatakan bahwa pencapaian
tertinggi seseorang ialah fana’ ruh idafi, yaitu ‘keadaan dapat melihat
peralihan atau pertukaran segala bentuk lahir dan gejala lahir, yang di
dalamnya kesadaran intuititf atau makrifat menyempurnakan penglihatannya
tentang Allah sebagai Yang Kekal dan Yang Tunggal’. Pendek kata dalam
fana’ ruh idafi seseorang sepenuhnya menyaksikan kebenaran hakiki ayat
al-qur`an 28:88, “Segala sesuatu binasa kecuali Wajah-Nya”. Ini
digambarkan melalui peumpamaan asyrafi (emas bentukan yang mencair dan
hilang kemuliannya, sedangkan substansinya sebagai emas tidak lenyap.
Syahadat dacim qacim adalah kurnia yang dilimpahkan Tuhan kepada
seseorang sehingga ia menyadari dan menyaksikan dirinya bersatu dengan
kehendak Tuhan (sapakarya). Menurut Sunan Bonang, ada tiga macam
syahadat:
1. Mutawilah (muta`awillah di dalam bahasa Arab)
2. Mutawassitah (Mutawassita)
3. Mutakhirah (muta`akhira)
Yang
pertama syahadat (penyaksian) sebelum manusia dilahirkan ke dunia yaitu
dari Hari Mitsaq (Hari Perjanjian) sebagaimana dikemukakan di dalam
ayat al-Qur`an 7: 172, “Bukankah Aku ini Tuhanmu? Ya, aku menyaksikan”
(Alastu bi rabbikum? Qawl bala syahidna). Yang ke dua ialah syahadat
ketika seseorang menyatakan diri memeluk agama Islam dengan mengucap
“Tiada Tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad adalah utusan-Nya”. Yang
ketiga adalah syahadat yang diucapkan para Nabi, Wali dan Orang Mukmin
sejati. Bilamana tiga syahadat ini dipadukan menjadi satu maka dapat
diumpamakan seperti kesatuan transenden antara tindakan menulis, tulisan
dan lembaran kertas yang mengandung tulisan itu. Juga dapat diumpamakan
seperti gelas, isinya dan gelas yang isinya penuh. Bilamana gelas
bening, isinya akan tampak bening sedang gelasnya tidak kelihatan.
Begitu pula hati seorang mukmin yang merupakan tempat kediaman Tuhan,
akan memperlihatkan kehadiran-Nya bilamana hati itu bersih, tulus dan
jujur.
Di dalam hati yang bersih, dualitas lenyap. Yang kelihatan ialah
tindakan cahaya-Nya yang melihat. Artinya dalam melakukan perbuatan apa
saja seorang mukmin senantiasa sadar bahwa dia selalu diawasi oleh
Tuhan, yang menyebabkannya tidak lalai menjalankan perintah agama..
Perumpamaan ini dapat dirujuk kepada perumpamaan serupa di dalam Futuh
al-Makkiyah karya Ibn `Arabi dan Lamacat karya `Iraqi.
Karya Sunan Bonang juga unik ialah Gita Suluk Wali, untaian puisi-puisi
lirik yang memikat. Dipaparkan bahwa hati seorang yang ditawan oleh rasa
cinta itu seperti laut pasang menghanyutkan atau seperti api yang
membakar sesuatu sampai hangus. Untaian puisi-puisi ini diakhiri dengna
pepatah sufi “Qalb al-mukmin bait Allah” (Hati seorang mukmin adalah
tempat kediaman Tuhan).
Suluk Jebeng
Ditulis dalam tembang Dhandhanggula dan dimulai dengan perbincangan
mengenai wujud manusia sebagai khalifah Tuhan di bumi dan bahawasanya
manusia itu dicipta menyerupai gambaran-Nya (mehjumbh dinulu). Hakekat
diri yang sejati ini mesti dikenal supaya perilaku dan amal perubuatan
seseorang di dunia mencerminkan kebenaran. Persatuan manusia dengan
Tuhan diumpamakan sebagai gema dengan suara. Manusia harus mengenal
suksma (ruh) yang berada di dalam tubuhnya. Ruh di dalam tubuh seperti
api yang tak kelihatan. Yang nampak hanyalah bara, sinar, nyala, panas
dan asapnya. Ruh dihubungkan dengan wujud tersembunyi, yang pemunculan
dan kelenyapannya tidak mudah diketahui. Ujar Sunan Bonang:
Puncak ilmu yang sempurna
Seperti api berkobar
Hanya bara dan nyalanya
Hanya kilatan cahaya
Hanya asapnya kelihatan
Ketauilah wujud sebelum api menyala
Dan sesudah api padam
Karena serba diliputi rahasia
Adakah kata-kata yang bisa menyebutkan?
Jangan tinggikan diri melampaui ukuran
Berlindunglah semata kepada-Nya
Ketahui, rumah sebenarnya jasad ialah ruh
Jangan bertanya
Jangan memuja nabi dan wali-wali
Jangan mengaku Tuhan
Jangan mengira tidak ada padahal ada
Sebaiknya diam
Jangan sampai digoncang
Oleh kebingungan
Pencapaian sempurna
Bagaikan orang yang sedang tidur
Dengan seorang perempuan, kala bercinta
Mereka karam dalam asyik, terlena
Hanyut dalam berahi
Anakku, terimalah
Dan pahami dengan baik
Ilmu ini memang sukar dicerna
Satu-satunya karangan prosa Sunan Bonang yang dapat diidentifikasi
sampai sekarang ialah Pitutur Seh Bari. Salah satu naskah yang memuat
teks karangan prosa Sunan Bonang ini ialah MS Leiden Cod. Or. 1928.
Naskah teks ini telah ditransliterasi ke dalam tulisan Latin, serta
diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda oleh Schrieke dalam disertasi
doktornya Het Boek van Bonang (1911). Hoesein Djajadiningrat juga pernah
meneliti dan mengulasnya dalam tulisannya ”Critische Beschouwing van de
Sedjarah Banten” (1913). Terakhir naskah teks ini ditransliterasi dan
disunting oleh Drewes, dalam bukunya The Admonotions of Seh Bari (1978),
disertai ulasan dan terjemahannya dalam bahasa Inggris.
Kitab ini ditulis dalam bentuk dialog atau tanya-jawab antara seorang
penuntut ilmu suluk, Syaful Rijal, dan gurunya Syekh Bari. Nama Syaiful
Rijal, yang artinya pedang yang tajam, biasa dipakai sebagai julukan
kepada seorang murid yang tekun mempelajari tasawuf (al-Attas 1972).
Mungkin ini adalah sebutan untuk Sunan Bonang sendiri ketika menjadi
seorang penuntut ilmu suluk. Syekh Bari diduga adalah guru Sunan Bonang
di Pasai dan berasal dari Bar, Khurasan, Persia Timur Daya (Drewes
1968:12). Secara umum ajaran tasawuf yang dikemukakan dekat dengan
ajaran dua tokoh tasawuf besar dari Persia, Imam al-Ghazali (w. 1111 M)
dan Jalaluddin al-Rumi (1207-1273 M). Nama-nama ahli tasawuf lain dari
Persia yang disebut ialah Syekh Sufi (mungkin Harits al-Muhasibi), Nuri
(mungkin Hasan al-Nuri) dan Jaddin (mungkin Junaid al-Baghdadi). Ajaran
ketiga tokoh tersebut merupakan sumber utama ajaran Imam al-Ghazali
(al-Taftazani 1985:6). Istilah yang digunakan dalam kitab ini, yaitu
”wirasaning ilmu suluk” (jiwa atau inti ajaran tasawuf) mengingatkan
pada pernyataan Imam al-Ghazali bahwa tasawuf merupakan jiwa ilmu-ilmu
agama.
Suluk Wujil
Di antara suluk karya Sunan Bonang yang paling dikenal dan relevan bagi
kajian ini ialah Suluk Wujil (SW). Dari segi bahasa dan puitika yang
digunakan, serta konteks sejarahnya dengan perkembangan awal sastra
Pesisir, SW benar-benar mencerminkan zaman peralihan Hindu ke Islam
(abad ke-15 dan 16 M) yang sangat penting dalam sejarah Jawa Timur. Teks
SW dijumpai antara lain dalam MS Bataviasche Genotschaft 54 (setelah RI
merdeka disimpan di Museum Nasional, kini di Perpustakaan Nasional
Jakarta) dan transliterasinya ke dalam huruf Latin dilakukan oleh
Poerbatjaraka dalam tulisannya ”De Geheime Leer van Soenan Bonang
(Soeloek Woedjil)” (majalah Djawa vol. XVIII, 1938). Terjemahannya dalam
bahasa Indonesia pernah dilakukan oleh Suyadi Pratomo (1985), tetapi
karena tidak memuaskan, maka untuk kajian ini kami berusaha
menerjemahkan sendiri teks hasil transliterasi Poerbatjaraka.
Sebagai karya zaman peralihan Hindu ke Islam, pentingnya karya Sunan
Bonang ini tampak dalam hal-hal seperti berikut: Pertama, dalam SW
tergambar suasana kehidupan badaya, intelektual dan keagamaan di Jawa
pada akhir abad ke-15, yang sedang beralih kepercayaan dari agama Hindu
ke agama Islam. Di arena politik peralihan itu ditandai denga runtuhnya
Majapahit, kerajaan besar Hindu terakhir di Jawa, dan bangunnya kerajaan
Demak, kerajaan Islam pertama. Demak didirikan oleh Raden Patah, putera
raja Majapahit Prabu Kertabumi atau Brawijaya V daripada perkawinannya
dengan seorang puteri Cina yang telah memeluk Islam. Dengan runtuhnya
Majapahit terjadilah perpindahan kegiatan budaya dan intelektual dari
sebuah kerajaan Hindu ke sebuah kerajaan Islam dan demikian pula tata
nilai kehidupan masyarakat pun berubah.
Di lapangan sastra peralihan ini dapat dilihat dengan berhentinya
kegiatan sastera Jawa Kuna setelah penyair terakhir Majapahit, Mpu
Tantular dan Mpu Tanakung, meninggal dunia pda pertengahan abad ke-15
tanpa penerus yang kuat. Kegiatan pendidikan pula mula beralih ke
pusat-pusat baru di daerah pesisir. Dari segi bahasa suluk ini
memperlihatkan “keanehan-keanehan bahasa Jawa Kuna zaman Hindu”
(Purbatjaraka: 1938) karena memang ditulis pada zaman permulaan
munculnya bahasa Jawa Madya. Dari segi puitika pula, cermin zaman
peralihan begitu ketara. Penulisnya menggunakan tembang Aswalalita yang
agak menyimpang, selain tembang Dhandhanggula. Aswalalita adalah metrum
Jawa Kuna yang dicipta berdasarkan puitika Sanskerta. Setelah wafatnya
Sunan Bonang tembang ini tidak lagi digunakan oleh para penulis tembang
di Jawa.
Sunan Bonang sebagai seorang penulis Muslim awal dalam sastra Jawa,
menunjukkan sikap yang sangat berbeda dengan para penulis Muslim awal di
Sumatra. Yang terakhir sudah sejak awal kegiatan kreatifnya menggunakan
huruf Jawi atau Arab Melayu, sedangkan Sunan Bonang dan penulis-penulis
Muslim Jawa yang awal masih menggunakan huruf Jawa, dan baru ketika
agama Islam telah tersebar luas huruf Arab digunakan untuk menulis
teks-teks berbahasa Jawa. Dalam penulisan puisinya, Sunan Bonang juga
banyak menggunakan tamsil-tamsil yang tidak asing dalam kebudayaan Jawa
pada masa itu. Misalnya tamsil wayang, dalang dan lakon cerita
pewayangan seperti Perang Bharata antara Kurawa dan Pandawa. Selain itu
dia juga masih mempertahankan penggunaan bentuk tembang Jawa Kuno, yaitu
aswalalita, yang didasarkan pada puitika Sanskerta. Dengan cara
demikian, kehadiran karyanya tidak dirasakan sebagai sesuatu yang asing
bagi pembaca sastra Jawa, malahan dipandangnya sebagai suatu
kesinambungan.
Kedua, pentingnya Suluk Wujil karena renungan-renungannya tentang
masalah hakiki di sekitar wujud dan rahasia terdalam ajaran agama,
memuaskan dahaga kaum terpelajar Jawa yang pada umumnya menyukai
mistisisme atau metafisika, dan seluk beluk ajaran keruhanian. SW
dimulai dengan pertanyaan metafisik yang esensial dan menggoda sepanjang
zaman, di Timur maupun Barat:
1
Inilah ceritera si Wujil
Berkata pada guru yang diabdinya
Ratu Wahdat
Ratu Wahdat nama gurunya
Bersujud ia ditelapak kaki Syekh Agung
Yang tinggal di desa Bonang
Ia minta maaf
Ingin tahu hakikat
Dan seluk beluk ajaran agama
Sampai rahasia terdalam
2
Sepuluh tahun lamanya Sudah
Wujil Berguru kepada Sang Wali
Namun belum mendapat ajaran utama
Ia berasal dari Majapahit
Bekerja sebagai abdi raja
Sastra Arab telah ia pelajari
Ia menyembah di depan gurunya
Kemudian berkata
Seraya menghormat
Minta maaf
3
“Dengan tulus saya mohon
Di telapak kaki tuan Guru
Mati hidup hamba serahkan
Sastra Arab telah tuan ajarkan
Dan saya telah menguasainya
Namun tetap saja saya bingung
Mengembara kesana-kemari
Tak berketentuan.
Dulu hamba berlakon sebagai pelawak
Bosan sudah saya
Menjadi bahan tertawaan orang
4
Ya Syekh al-Mukaram!
Uraian kesatuan huruf
Dulu dan sekarang
Yang saya pelajari tidak berbeda
Tidak beranjak dari tatanan lahir
Tetap saja tentang bentuk luarnya
Saya meninggalkan Majapahit
Meninggalkan semua yang dicintai
Namun tak menemukan sesuatu apa
Sebagai penawar
5
Diam-diam saya pergi malam-malam
Mencari rahasia Yang Satu dan jalan sempurna
Semua pendeta dan ulama hamba temui
Agar terjumpa hakikat hidup
Akhir kuasa sejati
Ujung utara selatan
Tempat matahari dan bulan terbenam
Akhir mata tertutup dan hakikat maut
Akhir ada dan tiada
Pertanyaan-pertanyaan Wujil kepada gurunya merupakan pertanyaan
universal dan eksistensial, serta menukik hingga masalah paling inti,
yang tidak bisa dijawab oleh ilmu-ilmu lahir. Terbenamnya matahari dan
bulan, akhir utara dan selatan, berkaitan dengan kiblat dan gejala
kehidupan yang senantiasa berubah. Jawabannya menghasilkan ilmu praktis
dan teoritis seperti fisika, kosmologi, kosmogeni, ilmu pelayaran,
geografi dan astronomi. Kapan mata tertutup berkenaan dengan pancaindra
dan gerak tubuh kita. Sadar dan tidak sadar, bingung dan gelisah, adalah
persoalan psikologi. Ada dan tiada merupakan persoalan metafisika.
Setiap jawaban yang diberikan sepanjang zaman di tempat yang
berbeda-beda, selalu unik, sebagaimana pertanyaan terhadap hakikat hidup
dan kehidupan. Lantas apakah dalam hidupnya manusia benar-benar
menguasai dirinya dan menentukan hidupnya sendiri? Siapa kuasa sejati
itu? Persoalan tentang rahasia Yang Satu akan membawa orang pada
persoalan tentang Yang Abadi, Yang Maha Hidup, Wujud Mutlak yang ada-Nya
tidak tergantung pada sesuatu yang lain.
Tampaknya pertanyaan itu memang ditunggu oleh Sunan Bonang, sebab hanya
melalui pertanyaan seperti itu dia dapat menyingkap rahasia ilmu tasawuf
dan relevansinya, kepada Wujil. Maka Sunan Bonang pun menjawab:
6
Ratu Wahdat tersenyum lembut
“Hai Wujil sungguh lancang kau
Tuturmu tak lazim
Berani menagih imbalan tinggi
Demi pengabdianmu padaku
Tak patut aku disebut Sang Arif
Andai hanya uang yang diharapkan
Dari jerih payah mengajarkan ilmu
Jika itu yang kulakukan
Tak perlu aku menjalankan tirakat
7
Siapa mengharap imbalan uang
Demi ilmu yang ditulisnya
Ia hanya memuaskan diri sendiri
Dan berpura-pura tahu segala hal
Seperti bangau di sungai
Diam, bermenung tanpa gerak.
Pandangnya tajam, pura-pura suci
Di hadapan mangsanya ikan-ikan
Ibarat telur, dari luar kelihatan putih
Namun isinya berwarna kuning
8
Matahari terbenam, malam tiba
Wujil menumpuk potongan kayu
Membuat perapian, memanaskan
Tempat pesujudan Sang Zahid
Di tepi pantai sunyi di Bonang
Desa itu gersang
Bahan makanan tak banyak
Hanya gelombang laut
Memukul batu karang
Dan menakutkan
9
Sang Arif berkata lembut
“Hai Wujil, kemarilah!”
Dipegangnya kucir rambut Wujil
Seraya dielus-elus
Tanda kasihsayangnya
“Wujil, dengar sekarang
Jika kau harus masuk neraka
Karena kata-kataku
Aku yang akan menggantikan tempatmu”
…
11
“Ingatlah Wujil, waspadalah!
Hidup di dunia ini
Jangan ceroboh dan gegabah
Sadarilah dirimu
Bukan yang Haqq
Dan Yang Haqq bukan dirimu
Orang yang mengenal dirinya
Akan mengenal Tuhan
Asal usul semua kejadian
Inilah jalan makrifat sejati”
Dalam bait-bait yang telah dikutip dapat kita lihat bahwa pada permulaan
suluknya Sunan Bonang menekankan bahwa Tuhan dan manusia itu berbeda.
Tetapi karena manusia adalah gambaran Tuhan, maka ’pengetahuan diri’
dapat membawa seseorang mengenal Tuhannya. ’Pengetahuan diri’ di sini
terangkum dalam pertanyaan: Apa dan siapa sebenarnya manusia itu?
Bagaimana kedudukannya di atas bumi? Dari mana ia berasal dan kemana ia
pergi setelah mati? Pertama-tama, ‘diri’ yang dimaksud penulis sufi
ialah ‘diri ruhani’, bukan ‘diri jasmani’, karena ruhlah yang merupakan
esensi kehidupan manusia, bukan jasmaninya. Kedua kali, sebagaimana
dikemukakan dalam al-Qur’an, surat al-Baqarah, manusia dicipta oleh
Allah sebagai ‘khalifah-Nya di atas bumi’ dan sekaligus sebagai
‘hamba-Nya’. Itulah hakikat kedudukan manusia di muka bumi. Ketiga,
persoalan dari mana berasal dan kemana perginya tersimpul dari ucapan
”Inna li Allah wa inna li Allahi raji’un” (Dari Allah kembali ke Allah).
Tasawuf dan Pengetahuan Diri
Secara keseluruhan jalan tasawuf merupakan metode-metode untuk mencapai
pengetahuan diri dan hakikat wujud tertinggi, melalui apa yang disebut
sebagai jalan Cinta dan penyucian diri. Cinta yang dimaksudkan para sufi
ialah kecenderungan kuat dari kalbu kepada Yang Satu, karena
pengetahuan tentang hakikat ketuhanan hanya dicapai tersingkapnya cahaya
penglihatan batin (kasyf) dari dalam kalbu manusia (Taftazani 1985:56).
Tahapan-tahapan jalan tasawuf dimulai dengan‘penyucian diri’, yang oleh
Mir Valiuddin (1980;1-3) dibagi tiga: Pertama, penyucian jiwa atau nafs
(thadkiya al-nafs); kedua, pemurnian kalbu (tashfiya al-qalb); ketiga,
pengosongan pikiran dan ruh dari selain Tuhan (takhliya al-sirr).
Istilah lain untuk metode penyucian diri ialah
mujahadah, yaitu perjuangan batin untuk mengalah hawa nafsu dan
kecenderungan-kecenderungan buruknya. Hawa nafsu merupakan representasi
dari jiwa yang menguasai jasmani manusia (‘diri jasmani’). Hasil dari
mujahadah ialah musyahadah dan mukasyafah. Musyahadah ialah mantapnya
keadaan hati manusia sehingga dapat memusatkan penglihatannya kepada
Yang Satu, sehingga pada akhirnya dapat menyaksikan kehadiran
rahasia-Nya dalam hati. Mukasyafah ialah tercapainya kasyf, yaitu
tersingkapnya tirai yang menutupi cahaya penglihatan batin di dalam
kalbu.
Penyucian jiwa dicapai dengan memperbanyak ibadah
dan amal saleh. Termasuk ke dalam ibadah ialah melaksanakan salat
sunnah, wirid, zikir, mengurangi makan dan tidur untuk melatih
ketangguhan jiwa. Semua itu dikemukakan oleh Sunan Bonang dalam
risalahnya Pitutur Seh Bari dan juga oleh Hamzah Fansuri dalam Syarab
al-`Asyiqin (“Minuman Orang Berahi”). Sedangkan pemurnian kalbu ialah
dengan membersihkan niat buruk yang dapat memalingkan hati dari Tuhan
dan melatih kalbu dengan keinginan-keinginan yang suci. Sedangkan
pengosongan pikiran dilakukan dengan tafakkur atau meditasi, pemusatan
pikiran kepada Yang Satu. Dalam sejarah tasawuf ini telah sejak lama
ditekankan, terutama oleh Sana’i, seorang penyair sufi Persia abad ke-12
M. Dengan tafakkur, menurut Sana’i, maka pikiran seseorang dibebaskan
dari kecenderungan untuk menyekutuhan Tuhan dan sesembahan yang lain
(Smith 1972:76-7).
Dalam Suluk Wujil juga disebutkan bahwa murid-muridnya menyebut Sunan
Bonang sebagai Ratu Wahdat. Istilah ‘wahdat’ merujuk pada konsep sufi
tentang martabat (tingkatan) pertama dari tajalli Tuhan atau
pemanifestasian ilmu Tuhan atau perbendaharaan tersembunyi-Nya (kanz
makhfiy) secara bertahap dari ciptaan paling esensial dan bersifat
ruhani sampai ciptaan yang bersifat jasmani. Martabat wahdat ialah
martabat keesaan Tuhan, yaitu ketika Tuhan menampakkan keesaan-Nya di
antara ciptaan-ciptaan-Nya yang banyak dan aneka ragam. Pada peringkat
ini Allah menciptakan esensi segala sesuatu (a’yan tsabitah) atau
hakikat segala sesuatu (haqiqat al-ashya). Esensi segala sesuatu juga
disebut ‘bayangan pengetahuan Tuhan’ (suwar al-ilmiyah) atau hakikat
Muhammad yang berkilau-kilauan (nur muhammad). Ibn `Arabi menyebut gerak
penciptaaan ini sebagai gerakan Cinta dari Tuhan, berdasar hadis qudsi
yang berbunyi, “Aku adalah perbendaharaan tersembunyi, Aku cinta
(ahbabtu) untuk dikenal, maka aku mencipta hingga Aku dikenal” (Abdul
Hadi W. M. 2002:55-60). Maka sebutan Ratu Wahdat dalam suluk ini dapat
diartikan sebagai orang yang mencapai martabat tinggi di jalan Cinta,
yaitu memperoleh makrifat dan telah menikmati lezatnya persatuan ruhani
dengan Yang Haqq.
Pengetahuan Diri, Cermin dan Ka’bah
Secara keseluruhan bait-bait dalam Suluk Wujil adalah serangkaian
jawaban Sunan Bonang terhadap pertanyaan-pertanyaan Wujil tentang akal
yang disebut Ada dan Tiada, mana ujung utara dan selatan, apa hakikat
kesatuan huruf dan lain-lain. Secara berurutan jawaban yang diberikan
Sunan Bonang berkenaan dengan soal: (1) Pengetahuan diri, meliputi
pentingnya pengetahuan ini dan hubungannya dengan hakikat salat atau
memuja Tuhan. Simbol burung dan cermin digunakan untuk menerangkan
masalah ini; (2) Hakikat diam dan bicara; (3) Kemauan murni sebagai
sumber kebahagiaan ruhani; (4) Hubungan antara pikiran dan perbuatan
manusia dengan kejadian di dunia; (5) Falsafah Nafi Isbat serta
kaitannya dengan makna simbolik pertunjukan wayang, khususnya lakon
perang besar antara Kurawa dan Pandawa dari epik Mahabharata; (6)
Gambaran tentang Mekkah Metafisisik yang merupakan pusat jagat raya,
bukan hanya di alam kabir (macrocosmos) tetapi juga di alam saghir
(microcosmos), yaitu dalam diri manusia yang terdalam; (7) Perbedaan
jalan asketisme atau zuhud dalam agama Hindu dan Islam.
Sunan Bonang menghubungkan hakikat salat berkaitan dengan pengenalan
diri, sebab dengan melakukan salat seseorang sebenarnya berusaha
mengenal dirinya sebagai ‘yang menyembah’, dan sekaligus berusaha
mengenal Tuhan sebagai ‘Yang Disembah’. Pada bait ke-12 dan selanjutnya
Sunan Bonang menulis:
12
Kebajikan utama (seorang Muslim)
Ialah mengetahui hakikat salat
Hakikat memuja dan memuji
Salat yang sebenarnya
Tidak hanya pada waktu isya dan maghrib
Tetapi juga ketika tafakur
Dan salat tahajud dalam keheningan
Buahnya ialah mnyerahkan diri senantiasa
Dan termasuk akhlaq mulia
13
Apakah salat yang sebenar-benar salat?
Renungkan ini: Jangan lakukan salat
Andai tiada tahu siapa dipuja
Bilamana kaulakukan juga
Kau seperti memanah burung
Tanpa melepas anak panah dari busurnya
Jika kaulakukan sia-sia
Karena yang dipuja wujud khayalmu semata
14
Lalu apa pula zikir yang sebenarnya?
Dengar: Walau siang malam berzikir
Jika tidak dibimbing petunjuk Tuhan
Zikirmu tidak sempurna
Zikir sejati tahu bagaimana
Datang dan perginya nafas
Di situlah Yang Ada, memperlihatkan
Hayat melalui yang empat
15
Yang empat ialah tanah atau bumi
Lalu api, udara dan air
Ketika Allah mencipta Adam
Ke dalamnya dilengkapi
Anasir ruhani yang empat:
Kahar, jalal, jamal dan kamal
Di dalamnya delapan sifat-sifat-Nya
Begitulah kaitan ruh dan badan
Dapat dikenal bagaimana
Sifat-sifat ini datang dan pergi, serta ke mana
16
Anasir tanah melahirkan
Kedewasaan dan keremajaan
Apa dan di mana kedewasaan
Dan keremajaan? Dimana letak
Kedewasaan dalam keremajaan?
Api melahirkan kekuatan
Juga kelemahan
Namun di mana letak
Kekuatan dalam kelemahan?
Ketahuilah ini
17
Sifat udara meliputi ada dan tiada
Di dalam tiada, di mana letak ada?
Di dalam ada, di mana tempat tiada?
Air dua sifatnya: mati dan hidup
Di mana letak mati dalam hidup?
Dan letak hidup dalam mati?
Kemana hidup pergi
Ketika mati datang?
Jika kau tidak mengetahuinya
Kau akan sesat jalan
18
Pedoman hidup sejati
Ialah mengenal hakikat diri
Tidak boleh melalaikan shalat yang khusyuk
Oleh karena itu ketahuilah
Tempat datangnya yang menyembah
Dan Yang Disembah
Pribadi besar mencari hakikat diri
Dengan tujuan ingin mengetahui
Makna sejati hidup
Dan arti keberadaannya di dunia
19
Kenalilah hidup sebenar-benar hidup
Tubuh kita sangkar tertutup
Ketahuilah burung yang ada di dalamnya
Jika kau tidak mengenalnya
Akan malang jadinya kau
Dan seluruh amal perbuatanmu, Wujil
Sia-sia semata
Jika kau tak mengenalnya.
Karena itu sucikan dirimu
Tinggalah dalam kesunyian
Hindari kekeruhan hiruk pikuk dunia
Pertanyaan-pertanyaan itu tidak diberi jawaban langsung, melainkan
dengan isyarat-isyarat yang mendorong Wujil melakukan perenungan lebih
jauh dan dalam. Sunan Bonang kemudian berkata dan perkatannya semakin
memasuki inti persoalan:
20
Keindahan, jangan di tempat jauh dicari
Ia ada dalam dirimu sendiri
Seluruh isi jagat ada di sana
Agar dunia ini terang bagi pandangmu
Jadikan sepenuh dirimu Cinta
Tumpukan pikiran, heningkan cipta
Jangan bercerai siang malam
Yang kaulihat di sekelilingmu
Pahami, adalah akibat dari laku jiwamu!
21
Dunia ini Wujil, luluh lantak
Disebabkan oleh keinginanmu
Kini, ketahui yang tidak mudah rusak
Inilah yang dikandung pengetahuan sempurna
Di dalamnya kaujumpai Yang Abadi
Bentangan pengetahuan ini luas
Dari lubuk bumi hingga singgasana-Nya
Orang yang mengenal hakikat
Dapat memuja dengan benar
Selain yang mendapat petunjuk ilahi
Sangat sedikit orang mengetahui rahasia ini
22
Karena itu, Wujil, kenali dirimu
Kenali dirimu yang sejati
Ingkari benda
Agar nafsumu tidur terlena
Dia yang mengenal diri
Nafsunya akan terkendali
Dan terlindung dari jalan
Sesat dan kebingungan
Kenal diri, tahu kelemahan diri
Selalu awas terhadap tindak tanduknya
23
Bila kau mengenal dirimu
Kau akan mengenal Tuhanmu
Orang yang mengenal Tuhan
Bicara tidak sembarangan
Ada yang menempuh jalan panjang
Dan penuh kesukaran
Sebelum akhirnya menemukan dirinya
Dia tak pernah membiarkan dirinya
Sesat di jalan kesalahan
Jalan yang ditempuhnya benar
24
Wujud Tuhan itu nyata
Mahasuci, lihat dalam keheningan
Ia yang mengaku tahu jalan
Sering tindakannya menyimpang
Syariat agama tidak dijalankan
Kesalehan dicampakkan ke samping
Padahal orang yang mengenal Tuhan
Dapat mengendalikan hawa nafsu
Siang malam penglihatannya terang
Tidak disesatkan oleh khayalan
Selanjutnya dikatakan bahwa diam yang hakiki ialah ketika seseorang
melaksanakan salat tahajud, yaitu salat sunnah tengah malam setelah
tidur. Salat semacam ini merupakan cara terbaik mengatasi berbagai
persoalan hidup. Inti salat ialah bertemu muka dengan Tuhan tanpa
perantara. Jika seseorang memuja tidak mengetahui benar-benar siapa yang
dipuja, maka yang dilakukannya tidak bermanfaat. Salat yang sejati
mestilah dilakukan dengan makrifat. Ketika melakukan salat, semestinya
seseorang mampu membayangkan kehadiran dirinya bersama kehadiran Tuhan.
Keadaan dirinya lebih jauh harus dibayangkan sebagai ’tidak ada’, sebab
yang sebenar-benar Ada hanyalah Tuhan, Wujud Mutlak dan Tunggal yang
ilmu-Nya meliputi segala sesuatu. Sedangkan adanya makhluq-makhluq,
termasuk manusia, sangat tergantung kepada Adanya Tuhan.
35
Diam dalam tafakur, Wujil
Adalah jalan utama (mengenal Tuhan)
Memuja tanpa selang waktu
Yang mengerjakan sempurna (ibadahnya)
Disebabkan oleh makrifat
Tubuhnya akan bersih dari noda
Pelajari kaedah pencerahan kalbu ini
Dari orang arif yang tahu
Agar kau mencapai hakikat
Yang merupakan sumber hayat
36
Wujil, jangan memuja
Jika tidak menyaksikan Yang Dipuja
Juga sia-sia orang memuja
Tanpa kehadiran Yang Dipuja
Walau Tuhan tidak di depan kita
Pandanglah adamu
Sebagai isyarat ada-Nya
Inilah makna diam dalam tafakur
Asal mula segala kejadian menjadi nyata
Setelah itu Sunan Bonang lebih jauh berbicara tentang hakikat murni
‘kemauan’. Kemauan yang sejati tidak boleh dibatasi pada apa yang
dipikirkan. Memikirkan atau menyebut sesuatu memang merupakan kemauan
murni. Tetapi kemauan murni lebih luas dari itu.
38
Renungi pula, Wujil!
Hakikat sejati kemauan
Hakikatnya tidak dibatasi pikiran kita
Berpikir dan menyebut suatu perkara
Bukan kemauan murni
Kemauan itu sukar dipahami
Seperti halnya memuja Tuhan
Ia tidak terpaut pada hal-hal yang tampak
Pun tidak membuatmu membenci orang
Yang dihukum dan dizalimi
Serta orang yang berselisih paham
39
Orang berilmu
Beribadah tanpa kenal waktu
Seluruh gerak hidupnya
Ialah beribadah
Diamnya, bicaranya
Dan tindak tanduknya
Malahan getaran bulu roma tubuhnya
Seluruh anggota badannya
Digerakkan untuk beribadah
Inilah kemauan murni
40
Kemauan itu, Wujil!
Lebih penting dari pikiran
Untuk diungkapkan dalam kata
Dan suara sangatlah sukar
Kemauan bertindak
Merupakan ungkapan pikiran
Niat melakukan perbuatan
Adalah ungkapan perbuatan
Melakukan shalat atau berbuat kejahatan
Keduanya buah dari kemauan
Di sini Sunan Bonang agaknya berpendapat bahwa kemauan atau kehendak
(iradat) , yaitu niat dan iktiqad, mestilah diperbaiki sebelum seseorang
melaksanakan sesuatu perbuatan yang baik. Perbuatan yang baik datang
dari kemauan baik, dan sebaliknya kehendak yang tidak baik melahirkan
tindakan yang tidak baik pula. Apa yang dikatakan oleh Sunan Bonang
dapat dirujuk pada pernyataan seorang penyair Melayu (anonim) dalam
Syair Perahu, seperti berikut:
Inilah gerangan suatu madah
Mengarangkan syair terlalu indah
Membetulkan jalan tempat berpindah
Di sanalah iktiqad diperbaiki sudah
Wahai muda kenali dirimu
Ialah perahu tamsil tubuhmu
Tiada berapa lama hidupmu
Ke akhirat jua kekal diammu
Hai muda arif budiman
Hasilkan kemudi dengan pedoman
Alat perahumu jua kerjakan
Itulah jalan membetuli insan
…
La ilaha illa Allah tempat mengintai
Medan yang qadim tempat berdamai
Wujud Allah terlalu bitai
Siang malam jangan bercerai
(Doorenbos 1933:33)
Tamsil Islam universal lain yang menonjol dalam Suluk Wujil ialah cermin
beserta pasangannya gambar atau bayang-bayang yang terpantul dalam
cermin, serta Mekkah. Para sufi biasa menggunakan tamsil cermin,
misalnya Ibn `Arabi. Sufi abad ke-12 M dari Andalusia ini menggunakannya
untuk menerangkan falsafahnya bahwa Yang Satu meletakkan cermin dalam
hati manusia agar Dia dapat melihat sebagian dari gambaran Diri-Nya
(kekayaan ilmu-Nya atau perbendaharaan-Nya yang tersembunyi) dalam
ciptaan-Nya yang banyak dan aneka ragam. Yang banyak di alam kejadian
(alam al-khalq) merupakan gambar atau bayangan dari Pelaku Tunggal yang
berada di tempat rahasia dekat cermin (Abu al-Ala Affifi 1964:15-7).
Pada pupuh atau bait ke-74 diceritakan Sunan Bonang menyuruh muridnya
Ken Satpada mengambil cermin dan menaruhnya di pohon Wungu. Kemudian dia
dan Wujil disuruh berdiri di muka cermin. Mereka menyaksikan dua
bayangan dalam cermin. Kemudian Sunan Bonang menyuruh salah seorang dari
mereka menjauh dari cermin, sehingga yang tampak hanya bayangan satu
orang. Maka Sunan Bonang bertanya: ”Bagaimana bayang-bayang datang/Dan
kemana dia menghilang?” (bait 81). Melalui contoh datang dan perginya
bayangan dari cermin, Wujil kini tahu bahwa ”Dalam Ada terkandung tiada,
dan dalam tiada terkandung ada” Sang Guru membenarkan jawaban sang
murid. Lantas Sunan Bonang menerangkan aspek nafi (penidakan) dan isbat
(pengiyaan) yang terkandung dalam kalimah La ilaha illa Allah (Tiada
tuhan selain Allah). Yang dinafikan ialah selain dari Allah, dan yang
diisbatkan sebagai satu-satunya Tuhan ialah Allah.
Pada bait atau pupuh 91-95 diceritakan perjalanan seorang ahli tasawuf
ke pusat renungan yang bernama Mekkah, yang di dalamnya terdapat rumah
Tuhan atau Baitullah. Mekkah yang dimaksud di sini bukan semata Mekkah
di bumi, tetapi Mekkah spiritual yang bersifat metafisik. Ka’bah yang
ada di dalamnya merupakan tamsil bagi kalbu orang yang imannya telah
kokoh. Abdullah Anshari, sufi abad ke-12 M, misalnya berpandapat bahwa
Ka’bah yang di Mekkah, Hejaz, dibangun oleh Nabi Ibrahim a.s. Sedangkan
Ka’bah dalam kalbu insan dibangun oleh Tuhan sebagai pusat perenungan
terhadap keesaan Wujud-Nya (Rizvi 1978:78).
Sufi Persia lain abad ke-11 M, Ali Utsman al-Hujwiri dalam kitabnya
menyatakan bahwa rumah Tuhan itu ada dalam pusat perenungan orang yang
telah mencapai musyahadah. Kalau seluruh alam semesta bukan tempat
pertemuan manusia dengan Tuhan, dan juga bukan tempat manusia menikmati
hiburan berupa kedekatan dengan Tuhan, maka tidak ada orang yang
mengetahui makna cinta ilahi. Tetapi apabila orang memiliki penglihatan
batin, maka seluruh alam semesta ini akan merupakan tempat sucinya atau
rumah Tuhan. Langkah sufi sejati sebenarnya merupakan tamsil perjalanan
menuju Mekkah. Tujuan perjalanan itu bukan tempat suci itu sendiri,
tetapi perenungan keesaan Tuhan (musyahadah), dan perenungan dilakukan
disebabkan kerinduan yang mendalam dan luluhnya diri seseorang (fana’)
dalam cinta tanpa akhir (Kasyful Mahjub 293-5).
Berdasarkan uraian tersebut, dapatlah dipahami apabila dalam Suluk Wujil
dikatakan, “Tidak ada orang tahu di mana Mekkah yang hakiki itu berada,
sekalipun mereka melakukan perjalanan sejak muda sehingga tua renta.
Mereka tidak akan sampai ke tujuan. Kecuali apabila seseorang mempunyai
bekal ilmu yang cukup, ia akan dapat sampai di Mekkah dan malahan
sesudah itu akan menjadi seorang wali. Tetapi ilmu semacam itu diliputi
rahasia dan sukar diperoleh. Bekalnya bukan uang dan kekayaan, tetapi
keberanian dan kesanggupan untuk mati dan berjihad lahir batin, serta
memiliki kehalusan budi pekerti dan menjauhi kesenangan duniawi.
Di dalam masjid di Mekkah itu terdapat singgasana
Tuhan, yang berada di tengah-tengah. Singgasana ini menggantung di atas
tanpa tali. Dan jika orang melihatnya dari bawah, maka tampak bumi di
atasnya. Jika orang melihat ke barat, ia akan melihat timur, dan jika
melihat timur ia akan menyaksikan barat. Di situ pemandangan terbalik.
Jika orang melihat ke selatan yang tampak ialah utara, sangat indah
pemandangannya. Dan jika ia melihat ke utara akan tampak selatan,
gemerlapan seperti ekor burung merak. Apabila satu orang shalat di sana,
maka hanya ada ruangan untuk satu orang saja. Jika ada dua atau tiga
orang shalat, maka ruangan itu juga akan cukup untuk dua tiga orang.
Apabila ada 10.000 orang melakukan shalat di sana, maka Ka`bah dapat
menampung mereka semua. Bahkan seandainya seluruh dunia dimasukkan ke
dalamnya, seluruh dunia pun akan tertampung juga”.
Wujil menjadi tenang setelah mendengarkan pitutur gurunya. Akan tetapi
dia tetap merasa asing dengan lingkungan kehidupan keagamaan yang
dijumpainya di Bonang.
Berbeda dengan di Majapahit dahulu, untuk mencapai rahasia Yang Satu
orang harus melakukan tapa brata dan yoga, pergi jauh ke hutan, menyepi
dan melakukan kekerasan ragawi. Di Pesantren Bonang kehidupan
sehari-hari berjalan seperti biasa. Shalat fardu lima waktu dijalankan
dengan tertib. Majlis-majlis untuk membicarakan pengalaman kerohanian
dan penghayatan keagamaan senantiasa diadakan. Di sela-sela itu para
santri mengerjakan pekerjaan sehari-hari, di samping mengadakan
pentas-pentas seni dan pembacaan tembang Sunan Bonang menjelaskan bahwa
seperti ibadat dalam agama Hindu yang dilakukan secara lahir dan batin,
demikian juga di dalam Islam. Malahan di dalam agama Islam, ibadat ini
diatur dengan jelas di dalam syariat. Bedanya di dalam Islam
kewajiban-kewajiban agama tidak hanya dilakukan oleh ulama dan pendeta,
tetapi oleh seluruh pemeluk agama Islam. Sunan bonang mengajarkan
tentang egaliterianissme dalam Islam. Sunan bonang mengajarkan tentang
egaliterisme di dalam Islam. Jika ibadat zahir dilakukan dengan
mengerjakan rukun Islam yang lima, ibadat batin ditempuh melalui tariqat
atau ilmu suluk, dengan memperbanyak ibadah seperti sembahyang sunnah,
tahajud, taubat nasuha, wirid dan zikir. Zikir berarti mengingat Tuhan
tanpa henti. Di antara cara berzikir itu ialah dengan mengucapkan
kalimah La ilaha illa Allah. Di dalamnya terkandung rahasia keesaan
Tuhan, alam semesta dan kejadian manusia.
Berbeda dengan dalam agama Hindu, di dalam agama Islam disiplin
kerohanian dan ibadah dapat dilakukan di tengah keramaian, sebab perkara
yang bersifat transendental tidak terpisah dari perkara yang bersifat
kemasyarakatan. Di dalam agama Islam tidak ada garis pemisah yang tegas
antara dimensi transendental dan dimensi sosial. Dikatakan pula bahwa
manusia terdiri daripada tiga hal yang pemiliknya berbeda. Jasmaninya
milik ulat dan cacing, rohnya milik Tuhan dan milik manusia itu sendiri
hanyalah amal pebuatannya di dunia.
original post by Dr.Abdul Hadi W. M. ( Sastrawan-Budayawan, Dosen ICAS-Jakarta, Universitas Paramadina & Univ.Indonesia )